Rabu, 26 November 2008

Sistem Politik dan Sistem Demokrasi (SKI 5)

Dicuplik dari tulisan :
Adi Prakosa
Dosen FISIP Universitas Nasional
Sumber : adiprakosa.blogspot.com

-------------------------------------------------------------------------------------------------

A. Hubungan Sistem Politik dan Sistem Komunikasi

Sistem politik dan komunikasi merupakan dua istilah yang selalu beriringan dan berhubungan satu sama lain. Suatu sistem mengandung unsur-unsur (sub-sistem) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Pengertian sistem politik seperti yang dikemukakan David Easton (dalam Masfadi Rauf, 1993) adalah seperangkat interaksi yang diabsraksikan dari totalitas kelakuan sosial, dimana nilai-nilai otoritatitatif dialokasikan kepada masyarakat. Sebagai suatu sistem, maka sistem politik terdiri dari subsistem-subsistem yang mempunyai fungsi tertentu. Subsistem-subsistem itu dikenal dengan struktur politik yang terdiri dari infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Untuk berjalannya suatu sistem politik, maka diperlukan suatu mekanisme, dimana setiap struktur politik dapat berhubungan atau berinteraksi dengan struktur politik lainnya berdasarkan fungsi yang melekat pada setiap struktur politik.

Interaksi di antara struktur-struktur politik dalam suatu sistem politik itu dapat dilihat sebagai unsur-unsur dari sistem komunikasi, meskipun tidak selamanya dan tidak semua unsur suatu sistem komunikasi merupakan bagian struktural dari sistem politik. Oleh karena itu setiap sistem politik mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri. Karenanya sudah barang tentu bahwa setiap negara dengan sistem politiknya yang yang berlainan akan menampilkan pola-pola komunikasi yang berbeda.

Walaupun demikian demikian, bila kita kelompokkan, sistem politik ke dalam dua sifat yaitu sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang tidak demokratis/totaliter, maka akan terlihat dua pola yang komunikasi yang berbeda.

Pertama, pada sistem politik yang demokratis akan terlihat pola komunikasi politik tatap muka Oleh Dan Nimmo (1984) disebut dengan pola komunikasi dari satu kepada satu. Dalam proses komunkasi tatap muka pembicaraan politik merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari, sehingga membentuk partisipasi politik yang tergolongkan aktif. Tingkah laku komunikasi masyarakat seperti itu tercipta berkat adanya suatu iklim politik yang bebas dan demokratis. Masyarakat dengan bebas dan tanpa rasa takut berbicara tentang kehidupan dan proses politik, didukung oleh keterbukaan informasi melalui media massa.

Pola yang kedua, yaitu pada sistem politik totaliter menampilkan komunikasi politik satu kepada semua, di mana pembicaraan politik lebih banyak ditemukan dalam media massa khususnya surat kabar. Itupun sudah merupakan kesempatan yang sangat berarti manakala anggota masyarakat dapat menyampaikan pikiran-pikirannya melalui surat kabar. Secara keseluruhan, pemikiran politik melalui surat kabar tersebut didominir oleh elite politik yang berkuasa. Dengan kata lain, surat kabar digunakan sebagai alat propaganda politik yang paling penting dalam kehidupan politik. Pembicaraan politik secara tatap muka jarang bahkan tidak ditemui dalam sistem politik jenis ini. Masyarakat tidak dapat melakukan pembicaraan politik, di samping karena ketatnya sistem politik, juga karena derajat kebebasan dan kertebukaan dalam kehidupan politik relatif rendah termasuk di dalamnya kebebasan dan kemandirian media massa, partai politik/kelompok kepentingan. Iklim seperti itu jelas tidak dapat memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakat untuk melakukan pembicaraan politik secara bebas dan terbuka.

B. Pola Hubungan Pers dengan Sistem Politik

Sistem pers, merupakan bagian atau subsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari suatu sistem sosial. Oleh karena itu untuk mengetahui sistem pers kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sistem sosial dan bentuk pemerintahan pemerintahan negara yang ada, dimana sistem pers itu berada. John C. Merrill (dalam Rachmadi, 1990) secara lebih tegas menyatakan, bahwa ”a nation’s press or media sistem is closely tied to the political sistem”.

Dari dimensi sejarah pertumbuhan dan perkembangan pers dunia, maka kita mengenal empat macam teori atau konsep dasar tentang pers, yang masing-masing mencerminkan sistem sosial dan sistem politik dimana pers itu berkembang. Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.

  1. Teori Pers Otoriter (authorian)

Teori otoriter lahir pada abad kelima belas sampai keenam belas pada masa bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut). Dalam teori ini media massa berfungsi menunjang negara (kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuki memajukan rakyat sebagai tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat bergantung pada kekuasaan raja yang mempunyai kekuasaan mutlak.

Dalam sistem ini manusia adalah bagian dari masyarakat. Manusia baru dapat berarti kalau ia hidup dalam kelompok. Sebagai individu, kegiatannya sangat terbatas. Kelompok lebih penting dari individu. Masyarakat tercermin dalam organisasi-organisasi, dan yang terpenting adalah negara. Negara disebut sebagai tujuan akhir dari proses organisasi masyarakat. Negara adalah pusat segala kegiatan. Pengetahuan dan kebenaran dicapai melalui interaksi individu. Interaksi ini harus terkontrol dan terarah, sehingga kepentingan akhir tidak dirugikan. Berdasarkan asumsi di atas, teori ini cenderung membentuk satu sistem kontrol yang efektif dan menggunakan media massa sebagai alat penguasa.

Sistem politik Indonesia pada jaman Orde Baru pernah menerapkan teori ini. A Muis (2005) mengatakan negara-negara yang menganut teori pers otorian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru, menerapkan pemasungan terhadap kebebasan pers dengan memberlakukan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982. Dalam dua undang-undang tersebut, secara tersurat, memberi kewenangan yang sangat signifikan kepada pemerintah untuk mengatur pola-pola komunikasi sistem pers pada waktu itu.

  1. Teori Pers Liberal

Sistem pers liberal ini berkembang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sebagai akibat timbulnya revolusi industri dan perubahan besar di dalam pemikiran-pemikiran masyarakat di Barat pada waktu itu yang lebih dikenal sebagai abad aufklarung (abad pencerahan).

Menurut teori ini, manusia pada dasarnya mempunyai hak-haknya secara alamiah untuk mengejar dan mengembangkan potensinya apabila diberikan iklim kebebasan menyatakanpendapat. Hal ini tidak mungkin berlaku apabila terdapat kontrol dari pemerintah. Menurut paham liberalisme, manusia pada hakekatnya dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan oleh ratio atau akalnya. Kebahagiaan dan kesejahteraan individu merupakan tujuan dari manusia, masyarakat, dan negara. Manusia sebagai makhluk yang menggunakan akalnya untuk mengatur dunia sekelilingnya dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena kemampuan yang dimilikinya ini, maka manusia merupakan unsur utama dari dunia peradaban dan sekaligus sebagai penggeraknya. Kedudukan istimewa yang diberikan kepada individu dalam masyarakat lebertarian ini, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa fungsi dari masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggota-anggotanya secara individual. Mengenai hakekat kebenaran dan pengetahuan, paham leberal memandang sebagai tidak berasal dari kelompok kecil orang-orang yang berkuasa atau merupakan monopoli mereka, akan tetapi harus ditemukan sendiri oleh manusia dengan manfaatkan akalnya.

Mengenai kebebasan pers, teori libertarian beranggapan bahwa pers harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk membantu manusia dalam usahanya mencari kebenaran. Untuk mencari kebenaran, manusia memerlukan kebebasan untuk memperoleh informasi dan pikiran-pikiran yang hanya dapat secara efektif diterima ketika itu, apabila disampaikan melalui pers.

Sistem politik Indonesia, terutama pada tahun 1950 - 1959 dengan berlakunya UUDS, pernah menerapkan teori pers liberal. Peraturan perundangan tentang pers masih mengacu pada KUHP warisan kolonial. Realitas kehidupan pers benar-benar menggambarkan penerapan teori pers liberal. Pers pada masa ini cenderung tidak lagi dipergunakan untuk perjuangan negara, namun dipergunakan sebagai terompet partai. Banyak surat kabar yang beredar merupakan organ dari partai politik pada sistem politik waktu itu (baca Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta). Merdeka dan Indonesia Raya merupakan surat kabar yang masih bisa disebut sebagai surat kabar yang netral (memperjuangkan kepentingan bangsa).

  1. Teori Pers Komunis

Teori ini berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai akibat dari sistem komunis di Uni Sviet. Sistem ini mendasarkan diri pada teori Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh teori dialektika Hegel. Sesuai dengan sejarah kelahirannya dan pertumbuhannya yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah ideologi komunis dan berdirinya negara Uni Soviet, maka teori pers ini lebih sering disebut dengan istilah pers totalitar soviet atau pers komunis soviet.

Dalam teori komunis ini, media massa merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Ini berarti bahwa media massa harus tunduk pada perintah dan kontrol dari pemerintah atau partai. Tunduknya media massa pada partai komunis membawa arti yang lebih dalam, yaitusebagai alat dari partai komunis yang berkuasa. Kritik diijinkan dalam media massa, tetapi kritik terhadap dasar ideologi dilarang. Media massa melakukan apa yang terbaik menurut pemimpin elit negara dan partai, dan apa yang terbaik bagi elit negara dan partai. Yang dilakukan media massa untuk mendukung komunis dan negara sosialis mwerupakan perbuatan moral, sedangkan perbuatan membahayakan atau merintangi pertumbuhan komunis adalah pembuatan immoral. Fungsi pers komunis ditetapkan sebagai alat untuk melakukan indoktrinasi massa atau pendidikan massa yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan dan pendidikan massa ini dilakukan melalui propaganda dan agitasi yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai dan kegiatan formal negara.

Tunduknya pers secara total kepada partai komunis ini membawa konsekuensi bahwa kebebasan dibatasi untuk menerbitkan berita-berita atau pandangan-pandangan sendiri, demikian juga usahanya memanfaatkan kebebasan untuk sedapat mungkin melayani kepentingan atau pendapat para pembacanya.

  1. Teori Pers Tanggungjawab Sosial

Teori tanggung jawab sosial ini muncul pada permulaan abad kedua puluh sebagai protes terhadap kebebasan yang mutlak dari Teori Libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral pada masyarakat. Dasar pemikiran teori ini adalah kebebasan pers harus disertai tanggung jawab kepada masyarakat. Teori ini merupakan hasil pemikiran para ahli pikir ketika itu yang merasa bahwa teori lebertarian murni dan tradisional sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman dan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Teori ini sering dianggap sebagi bentuk revisi terhadap teori-teori sebelumnya, yang menganggap bahwa tanggung jwab pers terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini ingin ditekankan sebagai orientasi yang utama dari pers. Penekanan tanggung jawab moral kepada masyarakat dengan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadinya keadaan yang membahayakan kesejahteraan umum. Teori ini berasal dari dari sebagian besar laporan ”Komisi Hutchins” yang diterbitkan pada tahun 1947. dari laporan ini dikembangkan pendapat betapa pentingnya peran pers dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, menekankan pada keharusan akan adanya tanggung jawab sosial dari setiap media komunikasi.

Para pemilik media pada teori tanggung jawab sosial yang tidak puas terhadap fungsi pers dalam teori libertarian, berpendapat bahwa pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Dalam memberikan pelayanan kepada sistem ekonomi, mereka mengharapkan agar tugas-tugas yang dijalankan oleh pers tidak mendahului fungsi-fungsi pers yang lain, seperti meningkatkan proses demokrasi dan pemberian penerangan kepada masyarakat. Hiburan yang disajikan haruslah hiburan yang baik. Dalam mencukupikeuangan media-media individu tertentu, hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari pasar.

Theodore Peterson (dalam Rachmadi, 1990) mengatakan bahwa teori tanggung jawab sosial mendasarkan pada pandangannya kepada suatu prinsip bahwa ”kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban, dan pers mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern seperti sekarang ini”. Uraian peterson ini mengandung makna bahwa teori ini berorientasi kepada mementingkan kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. Misalnya pengertian mengenai siapa yang berhak menggunakan media massa, oleh teori tanggung jawab sosial, dianggapnya bahwa bahwa setiap orang mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Dan hak kontrol dari media yang diberikan kepada kelompok-kelompok sebagai pendapat masyarakat, tindakan-tindakan konsumen, dan nilai-nilai profesi.

Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial. Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999 yang berbunyi:

Pasal 15

(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:

a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;

b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;

c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang-bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.

Pasal 17

(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

d. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.

e. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Daftar Pustaka

A Muis, 2005, Gejolak Aspirasi Kebebasan Pers, Kompas 2 April 2005

Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.

F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Gramedia, Jakarta.

Dan Nimmo, 1984, Komunikasi Politik, Rosdakarya, Bandung.

Tribuana Said, 1988, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dicuplik dari tulisan :
Adi Prakosa
Dosen FISIP UNAS
Sumber : adiprakosa.blogspot.com

Tidak ada komentar: