Ilusi. Secara material film terdiri atau dibangun oleh gambar-gambar dan bukan secara seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksikan pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Ini disebabkan karena gambar-gambar itu berbeda dengan gambar-gambar pada seni lukis misalnya, tapi merupakan gambar-gambar mekanis (dibuat oleh dan dengan suatu mekanik). Sifat utama dari gambar atau imaji (image) itu adalah sifat reproduktifnya.
Proyeksi dan photogenic. Ilusi tadi bisa timbul secara kuat pada kita karena tidak saja besarnya obyektivitas yang terdapat pada pernyataan sinematografi itu, tapi juga pada aktivitas penonton sendiri dalam mengandaikan berbagai pikiran dan motivasi yang berada pada gambar-gambar yang disaksikan. Gambar-gambar atau imaji-imaji itu tidak saja diproyeksikan oleh sebuah proyektor, tapi juga merupakan proyeksi dari kehidupan batiniah dari penontonnya.
Dunia virtual. Imaji atau gambar film mempunyai ketigadimensionalan dari gambar dalam kaca atau cermin. Perbedaannya dengan ketidakdimensionalan dari ruang yang nyata hanya terletak pada “virtualitasnya”. Kalau kita lupa bahwa layar proyeksi mempunyai batas (berbingkai), maka hilanglah batas antara ruang bioskop dan ruang filmis (ruang yang terdapat pada gambar-gambar di layar). Kamera yang berpindah-pindah tempat sewaktu syuting, menyingkapkan berbagai segi dari ruang yang sebenarnya, dimana kejadian filmis itu terjadi. Karena ketika kesadaran akan batas ruang itu hilang, maka kita (penonton) masuk ke dalam ruang filmis tersebut hilang.
Waktu filmis. Karena imaji-imaji filmis ini menimbulkan ilusi tentang kenyataan karena ketigadimensionalannya dan gerak yang ada padanya, maka imaji inipun mempunyai dimensi waktu, berlangsungnya waktu serta tangga waktu merupakan segi-segi dari waktu filmis tersebut. Film yang baik senantiasa menimbulkan ilusi bahwa kejadian filmis itu berlangsung dalam batas waktu yang pasti lebih lama dari waktu kita menonton. Masa lampau, masa kini dan bahkan masa nanti dapat dialami dalam waktu yang singkat (misalnya melaui flashback dan sebagainya).
Proyeksi dan identifikasi. Yang dimaksud dengan proyeksi adalah proses penonton masuk ke dalam kejadian filmis yang ia lihat dilayar. Sedangkan identifikasi merupakan suatu proses penonton menyerap kejadian di layar dalam dirinya.
Penghayatan filmis. Dalam mengalami dan menghayati film terjadi proyeksi dan identifikasi. Proses ini memiliki tiga segi, yaitu : proyeksi dan identifikasi optik (imaji-imaji filmis yang dilihat pada layar, dilihat penonton melalui lensa kamera), proyeksi dan identifikasi emosional (melalui identifikasi optik ini terjadi identifikasi dan proyeksi emosional. Perpindahan kamera dalam menyingkapkan ruang kejadian filmis itu berlangsung secara logis dan bermotivasi, sebagaimana yang telah dikemukakan), proyeksi dan identifikasi imajiner (kenyataan pada saat penonton melihat film, secara imajinatif penonton berada di antara tokoh-tokoh dan benda-benda dalam ruang filmis itu, dan bahwa sewaktu-waktu ia melihat kejadian-kejadian dalam ruang itu melalui penglihatan salah seorang tokoh).
Jadi, imaji-imaji film pada layar membangun suatu realitas imajiner, suatu titik pertemuan antara dunia luar dengan dunia “batiniah” dari penonton. Film menjadi semacam stasiun antara kenyataan dan imajinasi. Sifat paradoksal dari film ini memungkinkan kontak antara penonton dan universum film. Suatu kontak dimana penonton sekaligus menghayati dirinya sebagai outsider dan insider
Sumber : pojokspy.blogspot.com
Rabu, 24 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar