Senin, 31 Maret 2008

Hubungan Teori dan Metode Riset Komunikasi

BEBERAPA ASPEK PENTING DALAM HUBUNGAN ANTARA TEORI DAN METODE RISET KOMUNIKASI

Hasyim Ali Imran *)

Sumber : imran2001.multiply.com


PENDAHULUAN

M

encoba melihat bagaimana hubungan antara teori dan metode riset komunikasi, maka dari perspektif filsafat ilmu komunikasi, itu berarti menjadi salah satu wujud dalam upaya memahami ilmu komunikasi dari segi elemen epistemologis dalam filsafat ilmu.

Secara esensial elemen epistemologis berarti suatu upaya ilmu komunikasi dalam memahami cara-cara ilmiahnya dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah melalui riset terhadap obyek formanya, yakni fenomena human communication. Jadi, selain teori masih ada cara-cara lain yang juga tak kalah pentingnya, misalnya teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik analisis data. Pemahaman akan cara-cara ilmiah ini sendiri menjadi penting dalam riset karena berkaitan dengan upaya menghindarkan perolehan data yang bias melalui riset di lapangan beserta implikasinya, yang nota bene kurang mendukung bagi upaya pengembangan ilmu.

Sejalan dengan makna epistemologis yang berarti cara, yaitu bagaimana cara ilmu komunikasi dalam berupaya menemukan kebenaran ilmiah pada obyek formanya melalui aktifitas riset, maka tulisan ini mencoba focus pada upaya meninjau beberapa aspek penting dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi. Dengan pengetahuan mengenai aspek dimaksud diharapkan bisa menjadi salah satu cara yang dapat mengurangi ketidakidealan dalam proses pelaksanaan riset.

Dalam pembahasannya, tulisan ini akan dimulai dari soal fenomena komunikasi sebagai obyek forma ilmu komunikasi.


*) Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media, bekerja di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo R.I.

Dalam upaya melihat beberapa aspek penting dalam kaitan antara teori dengan metode riset, pembahasan lalu ditingkatkan pada persoalan menyangkut komponen dasar dan perspektif teori komunikasi. Pada bagian ini akan coba ditelaah secara detil mengenai aspek-aspek dalam teori yang dinilai berimplikasi kuat terhadap metode riset komunikasi.

PEMBAHASAN

Fenomena Komunikasi, Obyek Forma Ilmu Komunikasi

Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang oleh Littlejohn disebut dengan human communication itu, sebagaimana dikatakannya terdiri dari beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass (Littlejohn, 1983), itu terdiri dari lima tingkatan (level) : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass. (Littlejohn, 2005 : 11).

Fenomena komunikasi yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius. Para akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah Harold D. Lasswell pada 1948. Menurutnya, cara yang tepat untuk memahami fenomena komunikasi adalah dengan cara menjawab pertanyaan pertanyaan yang tercakup dalam formula yang ia tawarkan. Pertanyaan dimaksud yaitu : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana, kepada siapa dan dengan pengaruh apa ?Formula itu memang relatif memadai, namun akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik, yakni dalam wujud model, model komunikasi. Model berarti gambaran yang sistematis dan abstrak. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses (Wiryanto, 2004 : 9).

Proses itu misalnya menyangkut fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model , fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di didalamnya dapat dilihat dengan mudah (Bandingkan, Wiryanto, 2004 : 10). Model komunikasi dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan men-spesifikasi bentuk-bentuk komunikasi dalam hubungan antarmanusia.

Sebagai ilmu yang obyek formanya pada human communication, maka dalam ilmu komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.( Wiryanto, 2004 : 11).

Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi, tidak mengandung adanya penjelasan mengenai hubungan kausalitas antara komponen yang terdapat dalam model. Penjelasan mana, merupakan salah satu ciri yang harus dipenuhi oleh suatu teori. Jadi, meskipun oleh Severin dan Tankard (1992 : 36, dalam Wiryanto, 2004 : 10) dikatakan model komunikasi itu dapat membantu dalam perumusan suatu teori, namun model tetap saja bukan merupakan suatu teori. Akan tetapi, harus diakui bahwa melalui model komunikasi telah banyak para teoritisi terbantu dalam upaya memunculkan teori komunikasi. Diantaranya adalah salah satu teori efek media yang menurut Tankard (1986 : 246) tergolong moderat, yakni mass media uses and gratification theory, dikembangkan Kazt dan Gurevic dari mass media uses and gratification model yang dipublikasikannya pada 1974.

Komponen Dasar dan Perspektif Teori Komunikasi

Dalam memahami fenomena komunikasi, ilmu komunikasi memerlukan lebih dari sekedar model, dan tidak cukup pula hanya pada teori pada tataran taxonomies. Taxonomies yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak. (lihat, Littlejohn, 2005 :18). Dalam ilmu komunikasi sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie), antara lain misalnya seperti teori yang dikemukakan Deborah Tannen dengan teori Genderlect Styles-nya (baca, dalam Griffin, 2003, 463-467). Atau Ian Ward tentang kepemilikan media dan kontrol media yang dibangun berdasarkan kasus pers di Australia.

Tentu, dalam upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (dalam artian pure science), teori dalam kadar taxonomie tadi belum cukup. Untuk keperluan tersebut diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori. Komponen mana, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn terdiri dari : 1) asumsi filosofis, 2) konsep, 3) penjelasan dan 4) prinsip atau panduan untuk bertindak.

Dalam ilmu sosial, teori sendiri didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.” (lihat, Neuman, 2000 : 40). Dalam kaitan upaya Littlejohn to represent a wide range of thought – or theories about the communication process, maka Littlejohn mendefinisikan teori itu sebagai any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience. Mengutip pendapat James Anderson, Littlejohn mengatakan bahwa teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud (Littlejohn, 2005 : 18). Ilmu komunikasi yang jelas mempunyai dunianya sendiri, yakni fenomena komunikasi antar sesama manusia, dengan demikian menjadi relatif mudah dipelajari para akademisi sehubungan dengan telah begitu banyaknya teori komunikasi yang tersedia, dari teori yang menjelaskan komunikasi dalam konteks/level interpersonal hingga konteks massa.

Selanjutnya, berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk, teori tadi juga diketahui memiliki tiga tingkatan. Tingkatan tersebut terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of pople. The concepts are usually not very abstract. Macro level theory concerns the operation of larger aggregates such as social institutions, entire cultural system, and whole societies. It uses more concepts that are abstract. Meso Level theory is relatively rare. It attempts to link macro and micro levels or to operate at an intermediate level. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial , atau mengenai komunitas-komunitas. (lihat, Neuman, 2000 : 40, 49-50).

Semua ilmu, termasuk tentunya ilmu komunikasi sebagai salah satu pecahan dari ilmu sosial, juga menginginkan terwujudnya teori-teori komunikasi yang mencapai taraf meso sebagaimana banyak dicapai oleh teori-teori organisasi, gerakan sosial atau komunitas tadi. Dalam upaya ini, sama halnya dengan ilmuwan dalam disiplin lain, ilmuwan dalam ilmu komunikasipun berangkat dari model dasar dalam proses penyelidikan.(Lihat, Littlejohn, 2005 : 6).

Sistematika proses penyelidikan itu sendiri, langkah-langkahnya terdiri dari tiga tahap. Langkah pertama yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini bisa berwujud dalam beragam jenis. Ada pertanyaan yang diajukan untuk menjawab batasan tentang sebuah konsep; pertanyaan menyangkut kaitan sebuah konsep dengan lainnya, hingga pertanyaan yang berkaitan dengan soal value probe aesthetic,pragmatic and ethical qualities. Misalnya, Is it beautiful ? Is it effective ? Is it good ? Langkah kedua, yaitu mengobservasi. Pada tahap ini, ilmuwan berusaha mencari jawaban dengan cara mengamati fenomena dibawah proses penyelidikan. Langkah ketiga, yaitu membangun jawaban. Pada fase ini, ilmuwan mencoba mendefinisikan , menggambarkan dan menjelaskan – membuat penilaian dan penafsiran terhadap apa yang telah diamatinya. (Lihat, Littlejohn, 2005 : 6).

Selanjutnya, dalam upaya ilmuwan komunikasi meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkin bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Nomothetic theory is defined as that which seeks universal or general law. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam ilmu alam, namun sudah banyak dijadikan model dalam penelitian ilmu sosial. Teori yang demikian ini bertujuan untuk menggambarkan secara akurat tentang bagaimana kehidupan sosial bekerja. Langkah-langkah yang dilakukan ilmuwan tradisional dalam aplikasi pendekatan nomothetic theory, terdiri dari : 1) mengembangkan pertanyaan; 2) membentuk hipotesis; 3) menguji hipotesis dan 4) memformulasi teori. Pendekatan yang demikian dikenal juga sebagai hypothetico – deductive method . (Lihat, Littlejohn, 2005 : 23).

Komponen Asumsi Filosofis

Kembali pada soal elemen dasar yang terkandung dalam teori, maka seperti sudah disinggung sebelumnya, elemen itu terdiri dari asumsi filosofis, konsep, eksplanasi, dan prinsip. Asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis : epistemologi, or questions of knowledge; ontologi , or questions of existence, dan aksiologi, or questions of value.Looking for these assumptions provides a foundation for understanding how a given theory positions itself in relation to other theories on these basic issues that help construct a theory”, kata Littlejohn. (2005 : 18).

Dari segi filsafat ilmu, komponen epistemologi sendiri merupakan komponen yang difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar (Suriasumantri, 1984 : 33-34), atau how people know what they claim to know (Littlejohn, 2005 : 18).

Menyangkut komponen ontologis, maka ini berkaitan dengan spesifikasi obyek yang dikaji oleh suatu ilmu. Misalnya seperti ilmu komunikasi, yaitu human communication, di mana seperti telah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn fenomenanya terjadi pada lima level yang terdiri dari level interpersonal, kelompok, publik, organisasi dan massa. Pemahaman terhadap komponen ini perlu dikuasai agar para akademisi komunikasi tetap terjaga dalam main stream ilmu komunikasi dalam melaksanakan aktifitas keilmuannya.

Terakhir yaitu komponen aksiologis, yakni komponen filosofis yang difokuskan pada telaah nilai-nilai dalam hubungannya dengan proses menemukan kebenaran ilmu. Ada tiga isu aksiologikal yang dinilai penting diketahui oleh akademisi komunikasi, yakni terdiri dari : Can research be value free ; What are the ends for which scholarship is conducted; and To what extent should scholarship aim to effect social change ? (Littlejohn, 2005 : 20).

Dalam konteks elemen aksiologis tadi, maka, apakah teori dan riset itu bisa bebas nilai ? Theories come in many shapes and sizes, kata Neuman (2000, 40). Pernyataan ini jelas telah menunjukkan adanya implikasi bagi jawaban atas pertanyaan barusan, yakni antara ilmuwan yang menjawab ya dan tidak. Kontroversi ini sendiri, kemunculannya karena the scientific community recognizes theory as essential for clarifying and building scientific knowledge, while it condemns ideology as illegitimate obfuscation that is antithetical to science. Illegitimasi dimaksud tentu dalam artian menurut perspektif positivis/klasik, perspektif yang nota bene mengakui ilmu itu harus bebas nilai (objektive).

Meskipun terdapat kontroversi di kalangan akademisi sosial dalam kaitan persoalan nilai/value tadi, namun menurut Neuman (2000, 41), di antara kelompok ideologi dan scientist tetap terdapat persamaan-persamaan. Secara rinci, persamaan dan perbedaan itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel Persamaan dan Perbedaan Di Antara Social Theory-Ideology

Social Teory Ideology

Persamaan : - Contains a set of assumptions - Contains a set of sumptions

or a starting point or a starting point

- Explains what the social world - Explains what the social

world

is like, now/why it changes is like, now/why it changes

- Offers a system of - Offers a system of

concepts/ideas concepts/ideas

- Specifies relationships among - Specifies relationships among concepts, tells

consepts, tells what causes what what causes what

- Provides an interconnected -Provides an interconnected

system of ideas system of ideas.

Perbedaan : - Conditional, negotiated -Offers absolute certainty

understanding

- Incomplete, recognizes - Has all the answers

uncertainty

- Growing, open, unfolding, - Fixed, closed, finished

expanding

- Wekkcomes tests, positive - Avoid tests, discrepant

& negative findings evidence

- Changes based on evidence - Blind to opposing evidence

- Detached, disconnected, - Locked into specific moral

strong moral beliefs standard

- Neutral considers all sides - Highly partial

- Strongly seekslogical - Has contradictions,

consistency inconsistencies

- Transcends/crosses social - Rooted in specific position

positions

Sumber : Neuman, 2000, 41.

Para Ilmuwan klasik yang meyakini paham filsafat determinisme, yakin bahwa teori dan riset itu bisa dan harus bebas nilai, dan karenanya para ilmuwan dalam kelompok ini harus menjadi ilmuwan yang obyektif serta netral, tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai (agama, norma dan lain sejenisnya) dalam proses kerja ilmiahnya. Jika tidak maka riset yang dilakukannya akan menghasilkan bad science. Menurut Peursen (1985 : 4), pendirian bahwa ilmu itu obyektif serta netral, sebetulnya merupakan alat untuk mempertahankan keadaan dan cara berfikir, pendirian yang dipengaruhi oleh ideologi konservatif. Ilmuwan dalam kelompok ini diistilahkannya dengan positivistis.

Meskipun begitu, ada yang berbeda paham dalam menilai posisi nilai tersebut dalam proses bekerjanya ilmu. Mereka ini adalah ilmuwan dari kelompok interpretif/humanis (istilah Griffin) atau ritual (istilah Mc Quail). Ilmuwan demikian meyakini bahwa manusia itu memiliki kemauan bebas dan karenanya ilmuwan tidak bebas nilai dalam melakukan proses kerja ilmu. Kelompok ilmuwan yang diistilahkan Peursen (1985 : 4) dengan ilmuwan ideologis ini (istilah yang juga digunakan oleh Neuman (2000 :5), dianut oleh para Marxis dan Neo Marxis, tapi di antara mereka ada juga yang bukan Marxis dan Neo-Marxis.

Dalam kaitan kelompok ideologis atau interpretif dimaksud, Griffin (2003 : 9-10) sendiri berkomentar, bahwa para sarjana tersebut menyebutkan diri mereka dengan variasi nama yang membingungkan. Ada yang menyebut henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Teoritisi James Anderson dari Universitas Utah, seorang yang berberspektif postmodernisme, sebagaimana dikutip Griffin, mengemukakan penilaiannya dengan suatu pengandaian berlalu lintas terhadap keragaman nama tadi : “Dengan jumlah yang sangat besar dari komunitas interpretif ini, maka nama-nama suka tertukar, patroli perbatasan menjadi sia-sia dan pelanggaran terus berkelanjutan. Para anggota, bagaimanapun, sering melihat perbedaan-perbedaan yang nyata sifatnya.” Keluhan terhadap kalangan ideologis ini, juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dari Robert Ivie, editor senior pada Quaterly Journal of Speech, dan karenanya ia menyarankan bahwa kritik-kritk retorikal hendaknya dilakukan dengan menggunakan teori dengan cara ini : “Kita tidak bisa melakukan kritik retorikal realitas sosial tanpa memanfaatkan suatu panduan teori retorikal yang menjelaskan secara umum kepada kita tentang apa yang harus dicari di dalam kenyataan sosial, apa yang harus diperbuat terhadap kenyataan sosial itu, dan whether to consider it significant.“ (dalam Griffin, 2003 : 14).

Dengan telaah aksiologis tadi, kiranya memberikan pengertian bahwa melalui wacana nilai telah memunculkan perspektif yang berbeda dalam cara memperoleh ilmu pengetahuan, dengan mana juga mengelompokkan akademisi ke dalam dua bagian, kelompok scientific/obyektive/ positivistis dan interpretif/humanis/ideologis. Menurut Griffin (2003 : 10), pemisahan pandangan sarjana interpretif dan ilmuwan obyektive ini mencerminkan asumsi yang kontras tentang bagaimana cara pemerolehan pengetahuan, inti dari sifat manusia, pertanyaan-pertanyaan mengenai nilai, tujuan utama teori, dan methode penelitian.

Perbedaan perspektif yang kontras dari dua kelompok ilmuan tadi, di sisi lain sekaligus juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kualitas teori komunikasi. Dalam scientific/objektive theory, tolok ukur yang membuatnya menjadi sebuah teori yang bagus terdiri dari lima standard; 1. penjelasan data; 2. Perkiraan terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang; 3. kesederhanaan relatif (relative simplicity); 4.Hipotesis yang dapat diuji, a good objektive theory is testable. dan 5. Kegunaan praktis teori. A good objektive theory is useful. Sementara dalam interpretive/ humanistic theory, ukuran kebagusannya adalah : 1. New understanding of people; 2. Clarification of values; 3. Aesthetic appeal; 4. Community of Agreement dan kle 5. Reform of Society (Lihat, Griffin, 2003 : 39-47).

Bagi akademisi ilmu komunikasi, pemahaman terhadap kedua pendekatan beserta standard kebaikannya itu, tentu menjadi penting karena bisa membantunya, antara lain dalam memutuskan pendekatan yang akan dijadikan sebagai petunjuk dalam melakukan studi –studi komunikasi.

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka kodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, adalah para pemikir yang meyakini bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan pandangan mereka ini banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, perspektif teoritisnya terutama dibedakan oleh soal pengakuan value dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Guna tidak membingungkan dan memudahkan akademisi komunikasi dalam memahami perbedaan di antara kedua model, dalam bukunya Griffin mencoba menganalogikan dua akademisi yang dimintanya menanggapi fenomena cita-cita anak mengenai pekerjaan dalam Iklan Superbowl itu, dengan dua perancang mode pakaian. Glenn yang Objective mungkin akan menjahit suatu mantel yang pantas untuk semua orang pada berbagai kesempatan dengan baik, satu ukuran cocok untuk semua. Di pihak lain maka Marty yang interpretif/humanis mungkin mengaplikasikan prinsip dari desain fhasion-nya ke gaya suatu mantel yang dibuat untuk perorangan, untuk klien tunggal - satu orang satu tipe pakaian, kreasi tertentu yang khas untuk seseorang. Glenn mengadopsi suatu teori dan kemudian mengujinya untuk melihat apakah itu bisa mencakup semua orang. Sementara Marty menggunakan teori untuk membuat perasaan yang unik dari event-event komunikasi.(Griffin, 2003 :14) ........ Ahli teori obyektif pada umumnya mengedepankan efektifitas dan partisipasi ditempatkan di belakang. Ahli teori Interpretif cenderung memusatkan pada partisipasi dan mengurangi peran ke-efektivitas-an (Griffin, 2003 :14). Jadi, ada perbedaan yang kontradiktif di antara ilmuwan obyektif dan interpretif dalam cara memperoleh pengetahuan ilmu.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut“ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.

Untuk gagasan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks, misalnya seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam iklan seperti dicontohkan Griffin, sebagaimana disinggung sebelumnya. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang (angel) terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857) (Poedjawijatna, 1983 :94). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Diketahui pula, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai sangat berperan dalam kedua genre ketika ilmu komunikasi berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan crical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan. Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna.

Ragam perspektif yang ada di dalam melihat teori komunikasi di atas kiranya mengindikasikan kalau upaya menemukan tori komunikasi yang sifatnya mengandung makna seumum-umumnya (meta theory) itu begitu sulit. Dalam kaitan ini Littlejohn berpendapat bahwa memang ini menjadi salah satu kelemahan ilmu, termasuk ilmu komunikasi. Kelemahan ini dimungkinkan karena daya tangkap indra manusia terbatas, dan karenanya ilmu hanya bisa mengobservasi fenomena-fenomena indrawi yang bersifat fragmentaris. Kalaupun ada ilmuwan yang berupaya mencoba mempelajari secara non fragmentaris, sebagaimana halnya dilakukan oleh disiplin ilmu filsafat dengan cara berfikir kritis, ekstrim dan universal, maka upaya ini sudah ke luar dari tradisi ilmu pengetahuan dalam menemukan kebenarannya yang nota bene bertolak dari data empirik. Jadi, upaya ilmu filsafat tadi, tetap saja tidak dapat menolong ilmu untuk dapat menelaah obyeknya secara non fragmentaris.

Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang tebatas sifatnya, terbatas pada obyek formanya dan karenanya pula para filsuf menyebutnya dengan ilmu-ilmu khusus, atau ilmu tentang ada khusus, kata Poedjawijatna. Namun, sebagai ilmu khusus maka ilmu pengetahuan juga berupaya mempelajari obyek formanya itu melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ilmu filsafat. Tujuannya tak lain adalah agar mendapatkan pengetahuan yang seumum-umumnya tentang obyek forma yang dipelajari. Upaya ini sendiri dilakukan ilmu melalui salah satu cabang ilmunya sendiri, yakni filsafat ilmu pengetahuan sebagai pure science-nya sebuah ilmu pengetahuan. Melalui telaah aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, filsafat ilmu komunikasi berusaha menemukan kebenaran seumum-umumnya tentang obyek forma ilmu komunikasi, human communication. Meskipun demikian, dalam prosesnya kebenaran mutlak tetap saja bukan menjadi sesuatu yang mesti diwujudkan sebagai titik akhir dari proses. Upaya yang tidak mungkin dilakukan sehubungan dengan keterbatasan manusia inipun, seyogyanya disadari sebagai embrio yang menjadikan sesama ilmuwan bisa saling menghargai dalam upaya angel masing-masing dalam menemukan kebenaran ilmu komunikasi. Lagi pula, seperti dinyatakan Anderson, "kebenaran adalah perjuangan, bukan status ". Jadi, tidak ada kebenaran indrawi yang berhenti pada satu titik, kecuali kebenaran dogmatis agama yang berasal dari Tuhan.

Kebenaran ilmu pun begitu, seperti halnya dengan ilmu komunikasi. Dalam kaitan kelemahan ilmu yang demikian, Littlejohn (2005, 17) berkomentar, “All theories are abstactions. They always reduce experience to a set of categories and as a result always leave something out. A theory focuses on certain things and ignores others. This truism is important because it reveals the basic inadequacy of any one theory. No single theory will ever reveal the whole “truth” or be able to totally address the subject of investigation. Theories are also created by people, not ordained by God. When scholars examine something in the world, they make choices- about how to categorize what they are observing, what to name the concepts upon which they have focused, how broad or narrow their focus will be, and so on. Thus, theories represent various ways observers see their environments more than they capture reality than a record of scholars’ conceptualizations about that reality. (2005, 17).

Secara praktis, ketiga komponen yang menjadi fokus telaah dalam asumsi filosofis sebelumnya, sebenarnya terkandung di dalam semua pengetahuan, termasuk pengetahuan biasa. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Namun, dari semua pengetahuan, pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Lihat, Suriasumantri, 1984 : 33).

Apa yang dikatakan Suriasumantri itu, khusus terkait dengan ilmu komunikasi misalnya, maka berdasarkan indikasi yang ada memang relevan dengan pernyataan Suriasumantri tadi. Pada aspek ontologis, maka indikasinya berupa cukup jelasnya obyek kajian ilmu komunikasi itu, yakni proses human communication yang dikatakan Littlejohn sebelumnya terjadi dalam lima tingkatan ; interpersonal, kelompok, publik, organisasi, dan massa. Pada aspek epistemologis, indikasinya berupa terdapatnya beberapa pendekatan dalam menelaah obyek kajian ilmu komunikasi ; misalnya berdasarkan perspektif scientific/obyektive versus interpretif-humanistic, atau transmisi versus ritual. Sementara pada aspek aksiologis, indikasinya berupa kemunculan dua kubu dalam akademisi komunikologi dalam kaitan value dengan ilmu, yakni kubu free value (neutral) yang tergabung dalam kelompok positivistis/obyektif/scientifis/tradisional/konservatif dan kubu not free value (tidak bebas nilai) atau yang mengakui eksistensi free will dalam diri manusia yang tergabung dalam kelompok interpretif/humanis/ritual/ideologis.

Akan tetapi, berkaitan dengan pernyataan Suriasumantri tentang “dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin”, tadi, maka berdasarkan fenomena akademik mengindikasikan kalau pernyataan ini masih relatif banyak tidak berkesesuaian. Ini terlihat dari rancangan atau penelitian yang dibuat, atau skripsi maupun tesis yang dibuat akademisi komunikasi.

Bentuk-bentuk karya ilmiah yang nota bene mengandung asumsi-asumsi filosofis ilmu tersebut, dengan mana elemen ontologis tercermin melalui masalah pokok penelitian, epistemologis tercermin melalui methode penelitian dan elemen aksiologis tercermin melalui tujuan dan manfaat penelitian, kerap terlihat tidak memiliki konsistensi (taat asas) di antara ketiga unsur tadi. Inkonsistensi atau pengingkaran asas ini biasanya lebih sering muncul dalam kaitan komponen ontologis dan epistemologis. Sebagai contoh misalnya disain riset yang dilakukan Lembaga Riset Inpendam Yogyakarta terhadap fenomena konflik sosial dalam kaitannnya dengan komunikasi. Inkonsistensi terjadi ketika lembaga tersebut tidak menggunakan mainstream ilmu komunikasi dalam menelaah konflik sosial, melainkan dengan mainstream sosiologi an sich. Contoh lain yang paling sering terjadi adalah pada pembuatan skripsi. Dalam menelaah efek media massa misalnya, berdasarkan rumusan masalahnya sudah jelas khalayak media diposisikan sebagai individu aktif. Namun dalam proses pembuatan kerangka teori, hipotesis, methode dan instrumennya, bukan bersandar pada perspektif paradigma khalayak aktif melainkan pada perspektif khalayak pasif, atau bersandar pada teori efek media yang linier.

Komponen Konsep

Selanjutnya, menyangkut komponen kedua dalam teori, yaitu konsep. Konsep yaitu generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17) Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya.

Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu. Concepts are typically operationalized in traditional science (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari. Sebagai contoh misalnya konsep kode bicara, maka untuk dapat dilakukan pengukuran, harus diberi ciri-ciri khusus terhadap konsep kode bicara tadi. Ciri atau sifat yang diberikan, misalnya menurut sifatnya, maka bisa dipelajari antara lain dengan cara menggolongkannya ke dalam dua bentuk, misalnya menjadi verbal dan non verbal, dan lain sejenisnya. Konsep lain, misalnya penduduk, maka dapat dirumuskan variabel-variabel seperti jenis kelamin, suku bangsa, usia dan lain sejenisnya.

Seiring dengan pemberian ciri tertentu pada suatu konsep, semisal konsep kode bicara tadi, maka seiring itu pula konsep berubah namanya menjadi variabel. Variabel sendiri mengandung makna bisa atau dapat bervariasi atau beragam. Dengan demikian berarti pula bahwa konsep belum tentu variabel, namun variabel sudah pasti konsep, yakni konsep yang memiliki variasi nilai.

Dalam rangkaian suatu proses kegiatan ilmiah, seperti riset dalam ilmu tradisional (traditional science) , variabel sendiri terdapat di dalam rumusan hipotesis yang dibuat peneliti. Munculnya variabel dalam rumusan hipotesis, tidak terjadi begitu saja, melainkan berproses secara sistematis dengan prosedur berfikir dengan logika deduktif yang berpedoman pada prinsip koherensi dan korespondensi. Dalam tradisi ilmu dalam kubu positivistik, ini terjadi dalam babakan kerangka teori atau landasan konseptual untuk studi yang menelaah satu variabel.

Bagi peneliti positivis, secara umum babakan ini berfungsi menjadi wahana baginya dalam “menerangkan diri sendiri” atas “kegelapan” yang masih melingkupinya ketika merumuskan masalah pokok penelitian yang nota bene masih bertolak pada informasi terbatas mengenai fenomena yang dipelajarinya. Dalam upaya “menerangkan diri” ini, maka definisi leksikal mengenai sebuah konsep, penjelasan-penjelasan ilmiah mengenai sebuah konsep, konsep-konsep yang dipertautkan dalam sebuah proposisi ilmiah maupun hipotesis, atau teori-teori yang menjelaskan fenomena menyangkut konsep komunikasi yang diangkat dalam masalah penelitian, kiranya menjadi keharusan bagi peneliti dalam upaya mengemukakan argumentasi ilmiahnya. Sebagai salah satu komponen dalam rangkaian argumentasi ilmiah dalam bagian kerangka teori, maka teori komunikasi menduduki posisi paling penting. Teori merupakan petunjuk paling penting bagi peneliti dalam upayanya mempelajari sebuah fenomena komunikasi. Seperti dikatakan Stanley Deetz, a theory is a way of seeing and thinking about the world.(dalam Littlejohn, 2005 :17).

Dalam kaitan fenomena komunikasi yang ditelaah, maka pendapat Deetz itu, tentu perlu pula dengan segera kita kaitkan dengan gagasan Griffin sebelumnya menyangkut adanya dua perspektif kontras dalam menelaah fenomena komunikasi, obyektive/Scientific dan interpretif/Humanistic. Kesadaran ini diperlukan agar prinsip ketaat-asasan (konsistensi) tetap terjaga. Hanya dengan cara ini, barulah apa yang dikatakan Deetz tentang fungsi sebuah teori itu bisa benar-benar berfungsi sebagai sebuah cara bagi peneliti komunikasi dalam melihat dan memikirkan tentang fenomena komunikasi. Dengan demikian, maka bagi peneliti komunikasi, teori-teori komunikasi yang relevan dengan paradigma yang terkandung dalam perumusan masalah pokok penelitiannya, akan sangat membantu dalam upaya menemukan atau menjelaskan variabelnya secara teoritis guna menuju pada perumusan hipotesis.

Hipotesis sendiri berasal dari dua kata dasar hipo (kurang) dan tesa (kebenaran). Dengan mengacu pada arti kedua kata tersebut, hipotesis diartikan sebagai pernyataan tentang kebenaran menyangkut hubungan dua variabel atau lebih yang sifatnya masih kurang. Oleh karena sifatnya masih kurang, maka hipotesis lazim juga disebut dengan kebenaran yang bersifat sementara. Dengan kata lain, hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha untuk memahaminya (Nasution, 2006 : 39). Karena masih bersifat sementara, karenanya pula hipotesis masih memerlukan pengujian. Namun, sebelum pengujian lebih dulu harus dilakukan operasionalisasi terhadap variabel yang dikandungnya. Sebagaimana dikatakan Littlejohn (2005 :25), operationalism means that all variables in a hypotthesis should be stated in way that expalin exactly how to observe them. Operational definitions are the most precise definitions possible because they tell you how the concept is to be observed”. Definisi operasional ini selanjutnya menjadi instrument penelitian dalam mendapatkan data empiris yang dibutuhkan oleh variabel dalam hipotesis penelitian.

Di samping melakukan definisi operasional, maka ada hal lain yang perlu diketahui sebelum melakukan pengujian terhadap variabel-variabel dalam hipotesis. Ini berhubungan dengan sifat-sifat variabel. Pengetahuan tersebut sangat diperlukan karena berkaitan dengan pelaksanaan uji statistik terhadap variabel dalam hipotesis. Pengujian statistik yang keliru terhadap hubungan variabel dalam hipotesis berimplikasi pada kesesatan peneliti dalam menginterpretasikan fenomena yang dipelajarinya. Guna terhindar dari situasi dimaksud, ilmuwan obyektif telah berupaya membuat formula uji statistik terhadap hubungan-hubungan variabel. Diantaranya adalah seperti yang dikemukakan Champion (1981), sebagaimana dikutip Rakhmat (1991: 134) dalam bukunya, yakni menyangkut hubungan dua variabe hipotesis. Dari sini diketahui, misalnya terhadap hubungan dua variabel nominal dengan nominal, maka uji statistik dapat dilakukan, antara lain dengan menggunakan ukuran asosiasi Pearson’s; Lambda; Phi, dan lain-lain. Jadi, sudah tertentu sifatnya, tidak bisa dilakukan test statistik dengan sembarangan.

Dengan hipotesis, yang nota bene memiliki beberapa bentuk itu, dengan mana terdiri dari hipotesis kerja; hipotesis nol dan hipotesis statistik (deskriptif, komparatif, asosiatif) (Nasution, 2006 ; 43-44; Sugiyono, 2005 : 17), maka di kalangan akademisi positivis, guna menunjuk fungsinya dalam proses keilmuan, diantaranya ada yang menganalogikan hipotesis itu sebagai jembatan penghubung antara dunia ide dengan dunia empirik. Sebuah analogi yang secara filosofis ilmu disebut dengan perangkat ilmiah yang berfungsi sebagai alat bantu untuk mengecek kebenaran a priori yang dirumuskan dengan proses berfikir deduktif-intuitif dengan data a posteriori yang empirikal.

Peran hipotesis sebagaimana dimaksud itu, dapat diketahui ketika sebuah proses penelitian memasuki tahap analisis dan interpretasi data hasil penelitian. Hasil analisis dan interpretasi ini dibandingkan dengan pernyataan dalam rumusan hipotesis. Hasil perbandingan ini mempunyai dua kemungkinan, pertama menolak hipotesis dan kedua menerima hipotesis. Jika hipotesis diterima atau relevan dengan data empirik, itu berarti teori-teori yang diacu ilmuwan sebagai petunjuk ketika dalam proses perumusan hipotesis dengan proses berfikir deduktif, kualitasnya jadi semakin meningkat. Jika hipotesis tidak diterima, maka hipotesis itu menjadi pengoreksi terhadap teori yang direferensi.

Komponen Eksplanasi

Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. The theorist identifies regularities or patterns in the relationships among variables. In simplest terms, explanation answers the question, Why ? An explanation identifies a “logical force” among variables that connect them in some way. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Causal explanation explains outcomes as responses, whereas practical explanation sees action as controllable and strategic. In causal explanation, the consequent event is determined by some antecedent event. In practical explanation, outcomes are made to happen by actions that are chosen. Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).

Komponen Prinsip

Prinsip adalah komponen terakhir pada suatu teori. Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. Principles enable researcher to repflect on the quality of actions observed and to provide guidelines for practice as well. (Littlejohn, 2005 : 23).

Seperti kata Littlejohn (Littlejohn, 2005 : 23), terkait soal prinsip ini tidak ada suatu konsensus di kalangan para ilmuwan. Beberapa teori ada yang berisi upaya penyederhanaan konsep dan penjelasan tanpa pembuatan rekomendasi sesuai dengan teorisasi yang mendasari mereka. Sementara pada beberapa teori lainnya, generating principles that can be used as the basic of action in the world is the whole purpose for engaging the theoretical enterprise.

PENUTUP

Seperti sudah dibatasi pada bagian awal, makalah ini mencoba fokus pada upaya meninjau beberapa aspek penting dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi. Bertolak dari hasil pembahasan, maka dapatlah dikemukakan beberapa hal, sbb :

Terdapat empat komponen dasar dalam teori, termasuk teori komunikasi. Keempat komponen ini yaitu asumsi filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip. Terpenuhi tidaknya keempat unsur tersebut menjadi tolok ukur dalam menilai baik buruknya suatu teori.

Perspektif dalam memahami fenomena komunikasi cenderung berkaitan dengan bagaimana asumsi filosofis ilmuwan terhadap upaya menemukan kebenaran pada obyek forma ilmunya. Perbedaan asumsi filosofis itu tampak cenderung berkaitan dengan soal pengakuan eksistensi free will dalam diri manusia.

Komunikologi positivis tidak mengakui adanya free will itu dalam manusia dan karenanya ilmuwan harus bebas nilai (obyektif) dalam upaya menemukan kebenaran ilmu. Sebaliknya ilmuwan ideologis mengakui adanya free will itu, dan karenanya ilmuwan dinilai legal subyektif (tidak bebas nilai) dalam upayanya menemukan kebenaran ilmu. Perbedaan akan hakikat nilai ini secara garis besar berimplikasi pada hakikat teori dalam metode riset. Pada metode riset yang dirancang komunikolog positivis, penggunaan teori dimaksudkan untuk kepentingan pengujian atau pembuktian. Sedang pada metode riset yang dirancang komunikolog ideologis, teori digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan masalah yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.

Johannesen, Richard L., Etika Komunikasi, Bandung, Rosdakarya.

Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.

Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.

Nasution, S., 2006, Metode Research (Penelitian Ilmiah), edisi kedelapan, Jakarta, Bumi Aksara, PT.

Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.

Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan, J. Drost, Jakarta, Gramedia, PT.

Poedjawijatna, I.R., 1983, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Bina Aksara.

Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.

Sugiyono,2005, Statistik Untuk Penelitian, cetakan kedelapan, Bandung, Alfabeta, CV.

Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.

Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.

Tidak ada komentar: