Senin, 31 Maret 2008

Hubungan Teori dan Metode Riset Komunikasi

BEBERAPA ASPEK PENTING DALAM HUBUNGAN ANTARA TEORI DAN METODE RISET KOMUNIKASI

Hasyim Ali Imran *)

Sumber : imran2001.multiply.com


PENDAHULUAN

M

encoba melihat bagaimana hubungan antara teori dan metode riset komunikasi, maka dari perspektif filsafat ilmu komunikasi, itu berarti menjadi salah satu wujud dalam upaya memahami ilmu komunikasi dari segi elemen epistemologis dalam filsafat ilmu.

Secara esensial elemen epistemologis berarti suatu upaya ilmu komunikasi dalam memahami cara-cara ilmiahnya dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah melalui riset terhadap obyek formanya, yakni fenomena human communication. Jadi, selain teori masih ada cara-cara lain yang juga tak kalah pentingnya, misalnya teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik analisis data. Pemahaman akan cara-cara ilmiah ini sendiri menjadi penting dalam riset karena berkaitan dengan upaya menghindarkan perolehan data yang bias melalui riset di lapangan beserta implikasinya, yang nota bene kurang mendukung bagi upaya pengembangan ilmu.

Sejalan dengan makna epistemologis yang berarti cara, yaitu bagaimana cara ilmu komunikasi dalam berupaya menemukan kebenaran ilmiah pada obyek formanya melalui aktifitas riset, maka tulisan ini mencoba focus pada upaya meninjau beberapa aspek penting dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi. Dengan pengetahuan mengenai aspek dimaksud diharapkan bisa menjadi salah satu cara yang dapat mengurangi ketidakidealan dalam proses pelaksanaan riset.

Dalam pembahasannya, tulisan ini akan dimulai dari soal fenomena komunikasi sebagai obyek forma ilmu komunikasi.


*) Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media, bekerja di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo R.I.

Dalam upaya melihat beberapa aspek penting dalam kaitan antara teori dengan metode riset, pembahasan lalu ditingkatkan pada persoalan menyangkut komponen dasar dan perspektif teori komunikasi. Pada bagian ini akan coba ditelaah secara detil mengenai aspek-aspek dalam teori yang dinilai berimplikasi kuat terhadap metode riset komunikasi.

PEMBAHASAN

Fenomena Komunikasi, Obyek Forma Ilmu Komunikasi

Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang oleh Littlejohn disebut dengan human communication itu, sebagaimana dikatakannya terdiri dari beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group, organization dan mass (Littlejohn, 1983), itu terdiri dari lima tingkatan (level) : 1-interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass. (Littlejohn, 2005 : 11).

Fenomena komunikasi yang terjadi dalam lima level itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius. Para akademisi yang pertama kali mencoba memahaminya adalah Harold D. Lasswell pada 1948. Menurutnya, cara yang tepat untuk memahami fenomena komunikasi adalah dengan cara menjawab pertanyaan pertanyaan yang tercakup dalam formula yang ia tawarkan. Pertanyaan dimaksud yaitu : Siapa, mengatakan apa, dengan saluran yang mana, kepada siapa dan dengan pengaruh apa ?Formula itu memang relatif memadai, namun akademisi lain tidak puas dan mencoba meningkatkannya ke dalam bentuk yang lebih baik, yakni dalam wujud model, model komunikasi. Model berarti gambaran yang sistematis dan abstrak. Fungsinya untuk menerangkan potensi-potensi tertentu yang berkaitan dengan beragam aspek dari suatu proses (Wiryanto, 2004 : 9).

Proses itu misalnya menyangkut fenomena komunikasi, maka melalui sebuah model , fenomena komunikasi yang muncul dalam setiap levelnya itu, unsur-unsur yang terlibat di didalamnya dapat dilihat dengan mudah (Bandingkan, Wiryanto, 2004 : 10). Model komunikasi dibuat untuk membantu kita memahami komunikasi dan men-spesifikasi bentuk-bentuk komunikasi dalam hubungan antarmanusia.

Sebagai ilmu yang obyek formanya pada human communication, maka dalam ilmu komunikasi diketahui terdapat banyak model-model komunikasi. Ragam model komunikasi yang ada itu, oleh Mc Quail dan Windahl digolongkan ke dalam lima kelompok model, terdiri dari : Model dasar; model pengaruh personal, penyebaran dan dampak komunikasi massa terhadap individu; model efek komunikasi massa; model khalayak dan model komunikasi tentang sistem, produksi, seleksi dan alir media massa.( Wiryanto, 2004 : 11).

Sebuah model komunikasi memang merupakan representasi simbolik dari suatu proses komunikasi. Meskipun demikian, sebuah model komunikasi, tidak mengandung adanya penjelasan mengenai hubungan kausalitas antara komponen yang terdapat dalam model. Penjelasan mana, merupakan salah satu ciri yang harus dipenuhi oleh suatu teori. Jadi, meskipun oleh Severin dan Tankard (1992 : 36, dalam Wiryanto, 2004 : 10) dikatakan model komunikasi itu dapat membantu dalam perumusan suatu teori, namun model tetap saja bukan merupakan suatu teori. Akan tetapi, harus diakui bahwa melalui model komunikasi telah banyak para teoritisi terbantu dalam upaya memunculkan teori komunikasi. Diantaranya adalah salah satu teori efek media yang menurut Tankard (1986 : 246) tergolong moderat, yakni mass media uses and gratification theory, dikembangkan Kazt dan Gurevic dari mass media uses and gratification model yang dipublikasikannya pada 1974.

Komponen Dasar dan Perspektif Teori Komunikasi

Dalam memahami fenomena komunikasi, ilmu komunikasi memerlukan lebih dari sekedar model, dan tidak cukup pula hanya pada teori pada tataran taxonomies. Taxonomies yaitu teori yang baru memiliki komponen konsep saja, salah satu elemen dasar dari teori. Belum ada unsur explanations tentang bagaimana konsep-konsep yang dikandungnya itu saling berhubungan. Apalagi menyangkut elemen-elemen lainnya, seperti elemen asumsi filosofis dan prinsip atau panduan untuk bertindak. (lihat, Littlejohn, 2005 :18). Dalam ilmu komunikasi sendiri, teori yang termasuk jenis ini (taxomomie), antara lain misalnya seperti teori yang dikemukakan Deborah Tannen dengan teori Genderlect Styles-nya (baca, dalam Griffin, 2003, 463-467). Atau Ian Ward tentang kepemilikan media dan kontrol media yang dibangun berdasarkan kasus pers di Australia.

Tentu, dalam upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (dalam artian pure science), teori dalam kadar taxonomie tadi belum cukup. Untuk keperluan tersebut diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori. Komponen mana, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn terdiri dari : 1) asumsi filosofis, 2) konsep, 3) penjelasan dan 4) prinsip atau panduan untuk bertindak.

Dalam ilmu sosial, teori sendiri didefinisikan sebagai “as a system of interconnected abstractions or ideas that condenses and organizes knowledge about the social world.” (lihat, Neuman, 2000 : 40). Dalam kaitan upaya Littlejohn to represent a wide range of thought – or theories about the communication process, maka Littlejohn mendefinisikan teori itu sebagai any organized set of concepts, explanations, and principles of some aspect of human experience. Mengutip pendapat James Anderson, Littlejohn mengatakan bahwa teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud (Littlejohn, 2005 : 18). Ilmu komunikasi yang jelas mempunyai dunianya sendiri, yakni fenomena komunikasi antar sesama manusia, dengan demikian menjadi relatif mudah dipelajari para akademisi sehubungan dengan telah begitu banyaknya teori komunikasi yang tersedia, dari teori yang menjelaskan komunikasi dalam konteks/level interpersonal hingga konteks massa.

Selanjutnya, berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk, teori tadi juga diketahui memiliki tiga tingkatan. Tingkatan tersebut terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of pople. The concepts are usually not very abstract. Macro level theory concerns the operation of larger aggregates such as social institutions, entire cultural system, and whole societies. It uses more concepts that are abstract. Meso Level theory is relatively rare. It attempts to link macro and micro levels or to operate at an intermediate level. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial , atau mengenai komunitas-komunitas. (lihat, Neuman, 2000 : 40, 49-50).

Semua ilmu, termasuk tentunya ilmu komunikasi sebagai salah satu pecahan dari ilmu sosial, juga menginginkan terwujudnya teori-teori komunikasi yang mencapai taraf meso sebagaimana banyak dicapai oleh teori-teori organisasi, gerakan sosial atau komunitas tadi. Dalam upaya ini, sama halnya dengan ilmuwan dalam disiplin lain, ilmuwan dalam ilmu komunikasipun berangkat dari model dasar dalam proses penyelidikan.(Lihat, Littlejohn, 2005 : 6).

Sistematika proses penyelidikan itu sendiri, langkah-langkahnya terdiri dari tiga tahap. Langkah pertama yaitu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini bisa berwujud dalam beragam jenis. Ada pertanyaan yang diajukan untuk menjawab batasan tentang sebuah konsep; pertanyaan menyangkut kaitan sebuah konsep dengan lainnya, hingga pertanyaan yang berkaitan dengan soal value probe aesthetic,pragmatic and ethical qualities. Misalnya, Is it beautiful ? Is it effective ? Is it good ? Langkah kedua, yaitu mengobservasi. Pada tahap ini, ilmuwan berusaha mencari jawaban dengan cara mengamati fenomena dibawah proses penyelidikan. Langkah ketiga, yaitu membangun jawaban. Pada fase ini, ilmuwan mencoba mendefinisikan , menggambarkan dan menjelaskan – membuat penilaian dan penafsiran terhadap apa yang telah diamatinya. (Lihat, Littlejohn, 2005 : 6).

Selanjutnya, dalam upaya ilmuwan komunikasi meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkin bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Nomothetic theory is defined as that which seeks universal or general law. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam ilmu alam, namun sudah banyak dijadikan model dalam penelitian ilmu sosial. Teori yang demikian ini bertujuan untuk menggambarkan secara akurat tentang bagaimana kehidupan sosial bekerja. Langkah-langkah yang dilakukan ilmuwan tradisional dalam aplikasi pendekatan nomothetic theory, terdiri dari : 1) mengembangkan pertanyaan; 2) membentuk hipotesis; 3) menguji hipotesis dan 4) memformulasi teori. Pendekatan yang demikian dikenal juga sebagai hypothetico – deductive method . (Lihat, Littlejohn, 2005 : 23).

Komponen Asumsi Filosofis

Kembali pada soal elemen dasar yang terkandung dalam teori, maka seperti sudah disinggung sebelumnya, elemen itu terdiri dari asumsi filosofis, konsep, eksplanasi, dan prinsip. Asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis : epistemologi, or questions of knowledge; ontologi , or questions of existence, dan aksiologi, or questions of value.Looking for these assumptions provides a foundation for understanding how a given theory positions itself in relation to other theories on these basic issues that help construct a theory”, kata Littlejohn. (2005 : 18).

Dari segi filsafat ilmu, komponen epistemologi sendiri merupakan komponen yang difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar (Suriasumantri, 1984 : 33-34), atau how people know what they claim to know (Littlejohn, 2005 : 18).

Menyangkut komponen ontologis, maka ini berkaitan dengan spesifikasi obyek yang dikaji oleh suatu ilmu. Misalnya seperti ilmu komunikasi, yaitu human communication, di mana seperti telah disinggung sebelumnya, menurut Littlejohn fenomenanya terjadi pada lima level yang terdiri dari level interpersonal, kelompok, publik, organisasi dan massa. Pemahaman terhadap komponen ini perlu dikuasai agar para akademisi komunikasi tetap terjaga dalam main stream ilmu komunikasi dalam melaksanakan aktifitas keilmuannya.

Terakhir yaitu komponen aksiologis, yakni komponen filosofis yang difokuskan pada telaah nilai-nilai dalam hubungannya dengan proses menemukan kebenaran ilmu. Ada tiga isu aksiologikal yang dinilai penting diketahui oleh akademisi komunikasi, yakni terdiri dari : Can research be value free ; What are the ends for which scholarship is conducted; and To what extent should scholarship aim to effect social change ? (Littlejohn, 2005 : 20).

Dalam konteks elemen aksiologis tadi, maka, apakah teori dan riset itu bisa bebas nilai ? Theories come in many shapes and sizes, kata Neuman (2000, 40). Pernyataan ini jelas telah menunjukkan adanya implikasi bagi jawaban atas pertanyaan barusan, yakni antara ilmuwan yang menjawab ya dan tidak. Kontroversi ini sendiri, kemunculannya karena the scientific community recognizes theory as essential for clarifying and building scientific knowledge, while it condemns ideology as illegitimate obfuscation that is antithetical to science. Illegitimasi dimaksud tentu dalam artian menurut perspektif positivis/klasik, perspektif yang nota bene mengakui ilmu itu harus bebas nilai (objektive).

Meskipun terdapat kontroversi di kalangan akademisi sosial dalam kaitan persoalan nilai/value tadi, namun menurut Neuman (2000, 41), di antara kelompok ideologi dan scientist tetap terdapat persamaan-persamaan. Secara rinci, persamaan dan perbedaan itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel Persamaan dan Perbedaan Di Antara Social Theory-Ideology

Social Teory Ideology

Persamaan : - Contains a set of assumptions - Contains a set of sumptions

or a starting point or a starting point

- Explains what the social world - Explains what the social

world

is like, now/why it changes is like, now/why it changes

- Offers a system of - Offers a system of

concepts/ideas concepts/ideas

- Specifies relationships among - Specifies relationships among concepts, tells

consepts, tells what causes what what causes what

- Provides an interconnected -Provides an interconnected

system of ideas system of ideas.

Perbedaan : - Conditional, negotiated -Offers absolute certainty

understanding

- Incomplete, recognizes - Has all the answers

uncertainty

- Growing, open, unfolding, - Fixed, closed, finished

expanding

- Wekkcomes tests, positive - Avoid tests, discrepant

& negative findings evidence

- Changes based on evidence - Blind to opposing evidence

- Detached, disconnected, - Locked into specific moral

strong moral beliefs standard

- Neutral considers all sides - Highly partial

- Strongly seekslogical - Has contradictions,

consistency inconsistencies

- Transcends/crosses social - Rooted in specific position

positions

Sumber : Neuman, 2000, 41.

Para Ilmuwan klasik yang meyakini paham filsafat determinisme, yakin bahwa teori dan riset itu bisa dan harus bebas nilai, dan karenanya para ilmuwan dalam kelompok ini harus menjadi ilmuwan yang obyektif serta netral, tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai (agama, norma dan lain sejenisnya) dalam proses kerja ilmiahnya. Jika tidak maka riset yang dilakukannya akan menghasilkan bad science. Menurut Peursen (1985 : 4), pendirian bahwa ilmu itu obyektif serta netral, sebetulnya merupakan alat untuk mempertahankan keadaan dan cara berfikir, pendirian yang dipengaruhi oleh ideologi konservatif. Ilmuwan dalam kelompok ini diistilahkannya dengan positivistis.

Meskipun begitu, ada yang berbeda paham dalam menilai posisi nilai tersebut dalam proses bekerjanya ilmu. Mereka ini adalah ilmuwan dari kelompok interpretif/humanis (istilah Griffin) atau ritual (istilah Mc Quail). Ilmuwan demikian meyakini bahwa manusia itu memiliki kemauan bebas dan karenanya ilmuwan tidak bebas nilai dalam melakukan proses kerja ilmu. Kelompok ilmuwan yang diistilahkan Peursen (1985 : 4) dengan ilmuwan ideologis ini (istilah yang juga digunakan oleh Neuman (2000 :5), dianut oleh para Marxis dan Neo Marxis, tapi di antara mereka ada juga yang bukan Marxis dan Neo-Marxis.

Dalam kaitan kelompok ideologis atau interpretif dimaksud, Griffin (2003 : 9-10) sendiri berkomentar, bahwa para sarjana tersebut menyebutkan diri mereka dengan variasi nama yang membingungkan. Ada yang menyebut henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Teoritisi James Anderson dari Universitas Utah, seorang yang berberspektif postmodernisme, sebagaimana dikutip Griffin, mengemukakan penilaiannya dengan suatu pengandaian berlalu lintas terhadap keragaman nama tadi : “Dengan jumlah yang sangat besar dari komunitas interpretif ini, maka nama-nama suka tertukar, patroli perbatasan menjadi sia-sia dan pelanggaran terus berkelanjutan. Para anggota, bagaimanapun, sering melihat perbedaan-perbedaan yang nyata sifatnya.” Keluhan terhadap kalangan ideologis ini, juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dari Robert Ivie, editor senior pada Quaterly Journal of Speech, dan karenanya ia menyarankan bahwa kritik-kritk retorikal hendaknya dilakukan dengan menggunakan teori dengan cara ini : “Kita tidak bisa melakukan kritik retorikal realitas sosial tanpa memanfaatkan suatu panduan teori retorikal yang menjelaskan secara umum kepada kita tentang apa yang harus dicari di dalam kenyataan sosial, apa yang harus diperbuat terhadap kenyataan sosial itu, dan whether to consider it significant.“ (dalam Griffin, 2003 : 14).

Dengan telaah aksiologis tadi, kiranya memberikan pengertian bahwa melalui wacana nilai telah memunculkan perspektif yang berbeda dalam cara memperoleh ilmu pengetahuan, dengan mana juga mengelompokkan akademisi ke dalam dua bagian, kelompok scientific/obyektive/ positivistis dan interpretif/humanis/ideologis. Menurut Griffin (2003 : 10), pemisahan pandangan sarjana interpretif dan ilmuwan obyektive ini mencerminkan asumsi yang kontras tentang bagaimana cara pemerolehan pengetahuan, inti dari sifat manusia, pertanyaan-pertanyaan mengenai nilai, tujuan utama teori, dan methode penelitian.

Perbedaan perspektif yang kontras dari dua kelompok ilmuan tadi, di sisi lain sekaligus juga dapat menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kualitas teori komunikasi. Dalam scientific/objektive theory, tolok ukur yang membuatnya menjadi sebuah teori yang bagus terdiri dari lima standard; 1. penjelasan data; 2. Perkiraan terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang; 3. kesederhanaan relatif (relative simplicity); 4.Hipotesis yang dapat diuji, a good objektive theory is testable. dan 5. Kegunaan praktis teori. A good objektive theory is useful. Sementara dalam interpretive/ humanistic theory, ukuran kebagusannya adalah : 1. New understanding of people; 2. Clarification of values; 3. Aesthetic appeal; 4. Community of Agreement dan kle 5. Reform of Society (Lihat, Griffin, 2003 : 39-47).

Bagi akademisi ilmu komunikasi, pemahaman terhadap kedua pendekatan beserta standard kebaikannya itu, tentu menjadi penting karena bisa membantunya, antara lain dalam memutuskan pendekatan yang akan dijadikan sebagai petunjuk dalam melakukan studi –studi komunikasi.

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka kodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, adalah para pemikir yang meyakini bahwa ilmu itu tidak bebas nilai dan pandangan mereka ini banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, perspektif teoritisnya terutama dibedakan oleh soal pengakuan value dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Guna tidak membingungkan dan memudahkan akademisi komunikasi dalam memahami perbedaan di antara kedua model, dalam bukunya Griffin mencoba menganalogikan dua akademisi yang dimintanya menanggapi fenomena cita-cita anak mengenai pekerjaan dalam Iklan Superbowl itu, dengan dua perancang mode pakaian. Glenn yang Objective mungkin akan menjahit suatu mantel yang pantas untuk semua orang pada berbagai kesempatan dengan baik, satu ukuran cocok untuk semua. Di pihak lain maka Marty yang interpretif/humanis mungkin mengaplikasikan prinsip dari desain fhasion-nya ke gaya suatu mantel yang dibuat untuk perorangan, untuk klien tunggal - satu orang satu tipe pakaian, kreasi tertentu yang khas untuk seseorang. Glenn mengadopsi suatu teori dan kemudian mengujinya untuk melihat apakah itu bisa mencakup semua orang. Sementara Marty menggunakan teori untuk membuat perasaan yang unik dari event-event komunikasi.(Griffin, 2003 :14) ........ Ahli teori obyektif pada umumnya mengedepankan efektifitas dan partisipasi ditempatkan di belakang. Ahli teori Interpretif cenderung memusatkan pada partisipasi dan mengurangi peran ke-efektivitas-an (Griffin, 2003 :14). Jadi, ada perbedaan yang kontradiktif di antara ilmuwan obyektif dan interpretif dalam cara memperoleh pengetahuan ilmu.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut“ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn melalui istilah yang disebutnya dengan genre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.

Untuk gagasan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks, misalnya seperti teks pada iklan cita-cita anak dalam iklan seperti dicontohkan Griffin, sebagaimana disinggung sebelumnya. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang (angel) terhadap upaya menelaah fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.

Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857) (Poedjawijatna, 1983 :94). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam model transmisinya.

Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Diketahui pula, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai sangat berperan dalam kedua genre ketika ilmu komunikasi berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan crical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan. Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna.

Ragam perspektif yang ada di dalam melihat teori komunikasi di atas kiranya mengindikasikan kalau upaya menemukan tori komunikasi yang sifatnya mengandung makna seumum-umumnya (meta theory) itu begitu sulit. Dalam kaitan ini Littlejohn berpendapat bahwa memang ini menjadi salah satu kelemahan ilmu, termasuk ilmu komunikasi. Kelemahan ini dimungkinkan karena daya tangkap indra manusia terbatas, dan karenanya ilmu hanya bisa mengobservasi fenomena-fenomena indrawi yang bersifat fragmentaris. Kalaupun ada ilmuwan yang berupaya mencoba mempelajari secara non fragmentaris, sebagaimana halnya dilakukan oleh disiplin ilmu filsafat dengan cara berfikir kritis, ekstrim dan universal, maka upaya ini sudah ke luar dari tradisi ilmu pengetahuan dalam menemukan kebenarannya yang nota bene bertolak dari data empirik. Jadi, upaya ilmu filsafat tadi, tetap saja tidak dapat menolong ilmu untuk dapat menelaah obyeknya secara non fragmentaris.

Ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang tebatas sifatnya, terbatas pada obyek formanya dan karenanya pula para filsuf menyebutnya dengan ilmu-ilmu khusus, atau ilmu tentang ada khusus, kata Poedjawijatna. Namun, sebagai ilmu khusus maka ilmu pengetahuan juga berupaya mempelajari obyek formanya itu melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh ilmu filsafat. Tujuannya tak lain adalah agar mendapatkan pengetahuan yang seumum-umumnya tentang obyek forma yang dipelajari. Upaya ini sendiri dilakukan ilmu melalui salah satu cabang ilmunya sendiri, yakni filsafat ilmu pengetahuan sebagai pure science-nya sebuah ilmu pengetahuan. Melalui telaah aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, filsafat ilmu komunikasi berusaha menemukan kebenaran seumum-umumnya tentang obyek forma ilmu komunikasi, human communication. Meskipun demikian, dalam prosesnya kebenaran mutlak tetap saja bukan menjadi sesuatu yang mesti diwujudkan sebagai titik akhir dari proses. Upaya yang tidak mungkin dilakukan sehubungan dengan keterbatasan manusia inipun, seyogyanya disadari sebagai embrio yang menjadikan sesama ilmuwan bisa saling menghargai dalam upaya angel masing-masing dalam menemukan kebenaran ilmu komunikasi. Lagi pula, seperti dinyatakan Anderson, "kebenaran adalah perjuangan, bukan status ". Jadi, tidak ada kebenaran indrawi yang berhenti pada satu titik, kecuali kebenaran dogmatis agama yang berasal dari Tuhan.

Kebenaran ilmu pun begitu, seperti halnya dengan ilmu komunikasi. Dalam kaitan kelemahan ilmu yang demikian, Littlejohn (2005, 17) berkomentar, “All theories are abstactions. They always reduce experience to a set of categories and as a result always leave something out. A theory focuses on certain things and ignores others. This truism is important because it reveals the basic inadequacy of any one theory. No single theory will ever reveal the whole “truth” or be able to totally address the subject of investigation. Theories are also created by people, not ordained by God. When scholars examine something in the world, they make choices- about how to categorize what they are observing, what to name the concepts upon which they have focused, how broad or narrow their focus will be, and so on. Thus, theories represent various ways observers see their environments more than they capture reality than a record of scholars’ conceptualizations about that reality. (2005, 17).

Secara praktis, ketiga komponen yang menjadi fokus telaah dalam asumsi filosofis sebelumnya, sebenarnya terkandung di dalam semua pengetahuan, termasuk pengetahuan biasa. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Namun, dari semua pengetahuan, pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin (Lihat, Suriasumantri, 1984 : 33).

Apa yang dikatakan Suriasumantri itu, khusus terkait dengan ilmu komunikasi misalnya, maka berdasarkan indikasi yang ada memang relevan dengan pernyataan Suriasumantri tadi. Pada aspek ontologis, maka indikasinya berupa cukup jelasnya obyek kajian ilmu komunikasi itu, yakni proses human communication yang dikatakan Littlejohn sebelumnya terjadi dalam lima tingkatan ; interpersonal, kelompok, publik, organisasi, dan massa. Pada aspek epistemologis, indikasinya berupa terdapatnya beberapa pendekatan dalam menelaah obyek kajian ilmu komunikasi ; misalnya berdasarkan perspektif scientific/obyektive versus interpretif-humanistic, atau transmisi versus ritual. Sementara pada aspek aksiologis, indikasinya berupa kemunculan dua kubu dalam akademisi komunikologi dalam kaitan value dengan ilmu, yakni kubu free value (neutral) yang tergabung dalam kelompok positivistis/obyektif/scientifis/tradisional/konservatif dan kubu not free value (tidak bebas nilai) atau yang mengakui eksistensi free will dalam diri manusia yang tergabung dalam kelompok interpretif/humanis/ritual/ideologis.

Akan tetapi, berkaitan dengan pernyataan Suriasumantri tentang “dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin”, tadi, maka berdasarkan fenomena akademik mengindikasikan kalau pernyataan ini masih relatif banyak tidak berkesesuaian. Ini terlihat dari rancangan atau penelitian yang dibuat, atau skripsi maupun tesis yang dibuat akademisi komunikasi.

Bentuk-bentuk karya ilmiah yang nota bene mengandung asumsi-asumsi filosofis ilmu tersebut, dengan mana elemen ontologis tercermin melalui masalah pokok penelitian, epistemologis tercermin melalui methode penelitian dan elemen aksiologis tercermin melalui tujuan dan manfaat penelitian, kerap terlihat tidak memiliki konsistensi (taat asas) di antara ketiga unsur tadi. Inkonsistensi atau pengingkaran asas ini biasanya lebih sering muncul dalam kaitan komponen ontologis dan epistemologis. Sebagai contoh misalnya disain riset yang dilakukan Lembaga Riset Inpendam Yogyakarta terhadap fenomena konflik sosial dalam kaitannnya dengan komunikasi. Inkonsistensi terjadi ketika lembaga tersebut tidak menggunakan mainstream ilmu komunikasi dalam menelaah konflik sosial, melainkan dengan mainstream sosiologi an sich. Contoh lain yang paling sering terjadi adalah pada pembuatan skripsi. Dalam menelaah efek media massa misalnya, berdasarkan rumusan masalahnya sudah jelas khalayak media diposisikan sebagai individu aktif. Namun dalam proses pembuatan kerangka teori, hipotesis, methode dan instrumennya, bukan bersandar pada perspektif paradigma khalayak aktif melainkan pada perspektif khalayak pasif, atau bersandar pada teori efek media yang linier.

Komponen Konsep

Selanjutnya, menyangkut komponen kedua dalam teori, yaitu konsep. Konsep yaitu generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17) Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya.

Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu. Concepts are typically operationalized in traditional science (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari. Sebagai contoh misalnya konsep kode bicara, maka untuk dapat dilakukan pengukuran, harus diberi ciri-ciri khusus terhadap konsep kode bicara tadi. Ciri atau sifat yang diberikan, misalnya menurut sifatnya, maka bisa dipelajari antara lain dengan cara menggolongkannya ke dalam dua bentuk, misalnya menjadi verbal dan non verbal, dan lain sejenisnya. Konsep lain, misalnya penduduk, maka dapat dirumuskan variabel-variabel seperti jenis kelamin, suku bangsa, usia dan lain sejenisnya.

Seiring dengan pemberian ciri tertentu pada suatu konsep, semisal konsep kode bicara tadi, maka seiring itu pula konsep berubah namanya menjadi variabel. Variabel sendiri mengandung makna bisa atau dapat bervariasi atau beragam. Dengan demikian berarti pula bahwa konsep belum tentu variabel, namun variabel sudah pasti konsep, yakni konsep yang memiliki variasi nilai.

Dalam rangkaian suatu proses kegiatan ilmiah, seperti riset dalam ilmu tradisional (traditional science) , variabel sendiri terdapat di dalam rumusan hipotesis yang dibuat peneliti. Munculnya variabel dalam rumusan hipotesis, tidak terjadi begitu saja, melainkan berproses secara sistematis dengan prosedur berfikir dengan logika deduktif yang berpedoman pada prinsip koherensi dan korespondensi. Dalam tradisi ilmu dalam kubu positivistik, ini terjadi dalam babakan kerangka teori atau landasan konseptual untuk studi yang menelaah satu variabel.

Bagi peneliti positivis, secara umum babakan ini berfungsi menjadi wahana baginya dalam “menerangkan diri sendiri” atas “kegelapan” yang masih melingkupinya ketika merumuskan masalah pokok penelitian yang nota bene masih bertolak pada informasi terbatas mengenai fenomena yang dipelajarinya. Dalam upaya “menerangkan diri” ini, maka definisi leksikal mengenai sebuah konsep, penjelasan-penjelasan ilmiah mengenai sebuah konsep, konsep-konsep yang dipertautkan dalam sebuah proposisi ilmiah maupun hipotesis, atau teori-teori yang menjelaskan fenomena menyangkut konsep komunikasi yang diangkat dalam masalah penelitian, kiranya menjadi keharusan bagi peneliti dalam upaya mengemukakan argumentasi ilmiahnya. Sebagai salah satu komponen dalam rangkaian argumentasi ilmiah dalam bagian kerangka teori, maka teori komunikasi menduduki posisi paling penting. Teori merupakan petunjuk paling penting bagi peneliti dalam upayanya mempelajari sebuah fenomena komunikasi. Seperti dikatakan Stanley Deetz, a theory is a way of seeing and thinking about the world.(dalam Littlejohn, 2005 :17).

Dalam kaitan fenomena komunikasi yang ditelaah, maka pendapat Deetz itu, tentu perlu pula dengan segera kita kaitkan dengan gagasan Griffin sebelumnya menyangkut adanya dua perspektif kontras dalam menelaah fenomena komunikasi, obyektive/Scientific dan interpretif/Humanistic. Kesadaran ini diperlukan agar prinsip ketaat-asasan (konsistensi) tetap terjaga. Hanya dengan cara ini, barulah apa yang dikatakan Deetz tentang fungsi sebuah teori itu bisa benar-benar berfungsi sebagai sebuah cara bagi peneliti komunikasi dalam melihat dan memikirkan tentang fenomena komunikasi. Dengan demikian, maka bagi peneliti komunikasi, teori-teori komunikasi yang relevan dengan paradigma yang terkandung dalam perumusan masalah pokok penelitiannya, akan sangat membantu dalam upaya menemukan atau menjelaskan variabelnya secara teoritis guna menuju pada perumusan hipotesis.

Hipotesis sendiri berasal dari dua kata dasar hipo (kurang) dan tesa (kebenaran). Dengan mengacu pada arti kedua kata tersebut, hipotesis diartikan sebagai pernyataan tentang kebenaran menyangkut hubungan dua variabel atau lebih yang sifatnya masih kurang. Oleh karena sifatnya masih kurang, maka hipotesis lazim juga disebut dengan kebenaran yang bersifat sementara. Dengan kata lain, hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan atau terkaan tentang apa saja yang kita amati dalam usaha untuk memahaminya (Nasution, 2006 : 39). Karena masih bersifat sementara, karenanya pula hipotesis masih memerlukan pengujian. Namun, sebelum pengujian lebih dulu harus dilakukan operasionalisasi terhadap variabel yang dikandungnya. Sebagaimana dikatakan Littlejohn (2005 :25), operationalism means that all variables in a hypotthesis should be stated in way that expalin exactly how to observe them. Operational definitions are the most precise definitions possible because they tell you how the concept is to be observed”. Definisi operasional ini selanjutnya menjadi instrument penelitian dalam mendapatkan data empiris yang dibutuhkan oleh variabel dalam hipotesis penelitian.

Di samping melakukan definisi operasional, maka ada hal lain yang perlu diketahui sebelum melakukan pengujian terhadap variabel-variabel dalam hipotesis. Ini berhubungan dengan sifat-sifat variabel. Pengetahuan tersebut sangat diperlukan karena berkaitan dengan pelaksanaan uji statistik terhadap variabel dalam hipotesis. Pengujian statistik yang keliru terhadap hubungan variabel dalam hipotesis berimplikasi pada kesesatan peneliti dalam menginterpretasikan fenomena yang dipelajarinya. Guna terhindar dari situasi dimaksud, ilmuwan obyektif telah berupaya membuat formula uji statistik terhadap hubungan-hubungan variabel. Diantaranya adalah seperti yang dikemukakan Champion (1981), sebagaimana dikutip Rakhmat (1991: 134) dalam bukunya, yakni menyangkut hubungan dua variabe hipotesis. Dari sini diketahui, misalnya terhadap hubungan dua variabel nominal dengan nominal, maka uji statistik dapat dilakukan, antara lain dengan menggunakan ukuran asosiasi Pearson’s; Lambda; Phi, dan lain-lain. Jadi, sudah tertentu sifatnya, tidak bisa dilakukan test statistik dengan sembarangan.

Dengan hipotesis, yang nota bene memiliki beberapa bentuk itu, dengan mana terdiri dari hipotesis kerja; hipotesis nol dan hipotesis statistik (deskriptif, komparatif, asosiatif) (Nasution, 2006 ; 43-44; Sugiyono, 2005 : 17), maka di kalangan akademisi positivis, guna menunjuk fungsinya dalam proses keilmuan, diantaranya ada yang menganalogikan hipotesis itu sebagai jembatan penghubung antara dunia ide dengan dunia empirik. Sebuah analogi yang secara filosofis ilmu disebut dengan perangkat ilmiah yang berfungsi sebagai alat bantu untuk mengecek kebenaran a priori yang dirumuskan dengan proses berfikir deduktif-intuitif dengan data a posteriori yang empirikal.

Peran hipotesis sebagaimana dimaksud itu, dapat diketahui ketika sebuah proses penelitian memasuki tahap analisis dan interpretasi data hasil penelitian. Hasil analisis dan interpretasi ini dibandingkan dengan pernyataan dalam rumusan hipotesis. Hasil perbandingan ini mempunyai dua kemungkinan, pertama menolak hipotesis dan kedua menerima hipotesis. Jika hipotesis diterima atau relevan dengan data empirik, itu berarti teori-teori yang diacu ilmuwan sebagai petunjuk ketika dalam proses perumusan hipotesis dengan proses berfikir deduktif, kualitasnya jadi semakin meningkat. Jika hipotesis tidak diterima, maka hipotesis itu menjadi pengoreksi terhadap teori yang direferensi.

Komponen Eksplanasi

Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. The theorist identifies regularities or patterns in the relationships among variables. In simplest terms, explanation answers the question, Why ? An explanation identifies a “logical force” among variables that connect them in some way. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Causal explanation explains outcomes as responses, whereas practical explanation sees action as controllable and strategic. In causal explanation, the consequent event is determined by some antecedent event. In practical explanation, outcomes are made to happen by actions that are chosen. Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).

Komponen Prinsip

Prinsip adalah komponen terakhir pada suatu teori. Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. Principles enable researcher to repflect on the quality of actions observed and to provide guidelines for practice as well. (Littlejohn, 2005 : 23).

Seperti kata Littlejohn (Littlejohn, 2005 : 23), terkait soal prinsip ini tidak ada suatu konsensus di kalangan para ilmuwan. Beberapa teori ada yang berisi upaya penyederhanaan konsep dan penjelasan tanpa pembuatan rekomendasi sesuai dengan teorisasi yang mendasari mereka. Sementara pada beberapa teori lainnya, generating principles that can be used as the basic of action in the world is the whole purpose for engaging the theoretical enterprise.

PENUTUP

Seperti sudah dibatasi pada bagian awal, makalah ini mencoba fokus pada upaya meninjau beberapa aspek penting dalam hubungan antara teori dan metode riset komunikasi. Bertolak dari hasil pembahasan, maka dapatlah dikemukakan beberapa hal, sbb :

Terdapat empat komponen dasar dalam teori, termasuk teori komunikasi. Keempat komponen ini yaitu asumsi filosofis, konsep, eksplanasi dan prinsip. Terpenuhi tidaknya keempat unsur tersebut menjadi tolok ukur dalam menilai baik buruknya suatu teori.

Perspektif dalam memahami fenomena komunikasi cenderung berkaitan dengan bagaimana asumsi filosofis ilmuwan terhadap upaya menemukan kebenaran pada obyek forma ilmunya. Perbedaan asumsi filosofis itu tampak cenderung berkaitan dengan soal pengakuan eksistensi free will dalam diri manusia.

Komunikologi positivis tidak mengakui adanya free will itu dalam manusia dan karenanya ilmuwan harus bebas nilai (obyektif) dalam upaya menemukan kebenaran ilmu. Sebaliknya ilmuwan ideologis mengakui adanya free will itu, dan karenanya ilmuwan dinilai legal subyektif (tidak bebas nilai) dalam upayanya menemukan kebenaran ilmu. Perbedaan akan hakikat nilai ini secara garis besar berimplikasi pada hakikat teori dalam metode riset. Pada metode riset yang dirancang komunikolog positivis, penggunaan teori dimaksudkan untuk kepentingan pengujian atau pembuktian. Sedang pada metode riset yang dirancang komunikolog ideologis, teori digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan masalah yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw Hill.

Johannesen, Richard L., Etika Komunikasi, Bandung, Rosdakarya.

Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus –Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company, p. 381-382.

Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.

Nasution, S., 2006, Metode Research (Penelitian Ilmiah), edisi kedelapan, Jakarta, Bumi Aksara, PT.

Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.

Peursen, C.A. Van, 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan, J. Drost, Jakarta, Gramedia, PT.

Poedjawijatna, I.R., 1983, Etika, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, Bina Aksara.

Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.

Sugiyono,2005, Statistik Untuk Penelitian, cetakan kedelapan, Bandung, Alfabeta, CV.

Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan.

Wiryanto, 2004, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, PT.

Peranan IT Sebagai Media Komunikasi

PERANAN TEKNOLOGI INFORMASI
SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI BISNIS DALAM MENUNJANG
LOYALTY CUSTOMER

Penulis : Budi Herdiana

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah membawa perubahan pada berbagai sektor mulai dari sektor ekonomi, kedokteran, pertanian, perikanan, perbankan, dan lain sebagainya. Dengan berkembangnya teknologi informasi terbukti telah membawa perubahan dalam kuantitas dan kualitas dari produk maupun jasa, gaya hidup, dan berbagai kehidupan lainnya. Seperti dengan adanya teknologi internet, email, handphone, PDA, telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi baik secara face to face, browsing internet, chating, pengiriman data via e-mail atau FTP, dan lain-lain. Media teknologi komunikasi bisnis yang lain, seperti Networking Communication System terbukti sangat efektif membantu penyampaian pesan dan mudah untuk diterima oleh komunikan (customer), seperti yang dikembangkan didunia jasa perbankan yaitu E-Banking yang meliputi SMS Banking, Phone Banking, Internet Banking dan ATM yang telah memberikan kemudahan untuk bertransaksi dan mendapatkan data atau informasi perbankan secara cepat dan akurat. Hal ini tentunya akan memberikan efek langsung terhadap kepuasan pelanggan (nasabah). Kepuasan pelanggan akan membangun Loyalty Customer (Loyalitas Pelanggan).
Permasalahannya adalah :
1. Bagaimana pemanfaatan atau peranan teknologi informasi sebagai media komunikasi bisnis dapat menunjang loyalty customer.
2. Apakah media teknologi informasi seperti Internet, e-mail, handphone, televisi, radio dapat menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan tentang produk atau jasa, atau publikasi visi dan misi dari suatu perusahaan.
3. Faktor-faktor komunikasi bisnis apa saja yang efektif mencapai sasaran dan bagaimana hambatan-hambatan yang menyebabkan gagalnya komunikasi bisnis itu sendiri ?


1.2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran

Seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, teknologi informasi khususnya internet sebagai media komunikasi bisnis memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang atau menjaga pelanggan tetap loyal (loyalty customer), sehingga dengan loyalitas pelanggan tersebut perusahaan dapat survive (bertahan), bahkan memiliki kecenderungan untuk terus maju dan berpotensi untuk mendapatkan laba secara oftimal (sesuai dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan).
Menurut ahli Marketing Management, Philip Kotler dalam bukunya According to Kotler, mengatakan bahwa “Perusahaan industrial kini lebih banyak berbisnis dengan menggunakan intranet, Internet dan ektranet. Mereka menggunakan intranet untuk komunikasi internal didalam perusahaan; Internet untuk penyebaran informasi, penjualan dan pembelian,; extranet untuk melakukan transaksi dengan pemasok dan dealer di lapangan”. (Kotler; 2005 : 133) .
Dengan pemanfaatan teknologi informasi khususnya internet, diharapkan akan memberikan feedback yang positif terhadap perusahaan. Misalnya penggunaan teknologi internet banking terbukti dapat dimanfaatkan oleh customer sebagai sarana teknologi yang menunjang transaksi perbankan mereka. Dengan e-Banking pada jasa perbankan diharapkan dapat membangun loyalitas customer untuk tetap setia (loyal) menggunakan jasa dan produk bank tertentu. Teknologi Internet yang inovatif dan canggih telah terbukti memberikan banyak value added (nilai tambah) bagi nasabah (customer) sehingga diharapkan dapat memberikan brand image positif dan loyalitas dari customer. Lalu apa yang dimaksud dengan loyalty customer ?
Menurut ahli pemasaran bahwa “Customer Loyalty is a deeply held commitment to rebuys or repeatnize a preferred product or service consistenly the future, despite situational influences and marketing effort having the potential to cause switching behavior”. (Oliver ; 1997:392).
Media komuniasi yang canggih, akan kurang bermanfaat jika metodologi komunikasi bisnis tidak diperhatikan. Misalnya kompetensi seorang web master dalam mendisain website harus memperhatikan faktor estetika atau nilai seni yang tinggi agar telihat menarik dan tidak membosankan, tanpa menghilangkan feature produk yang utamanya. Gambar dan warna yang menarik akan selalu dapat diingat ketimbang desain yang polos dan sederhana..Situs internet yang banyak dikunjungi para netter adalah situs internet yang memberikan informasi secara lengkap, menarik dan memberikan kemudahan untuk diaplikasikan.
Komunikasi Bisnis itu sendiri menurut Prof. Dr. Yuyun Wirasasmita. M.Sc dalam bukunya Komunikasi Bisnis dan Profesional meliputi pengiriman dan penerimaan pesan-pesan diantara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku di dalam suatu organisasi.
Pengiriman pesan yang efektif dari perusahaan dapat digunakan dengan berbagai media komunikasi bisnis yang tepat. Menurut prediksi Kotler 10 tahun mendatang bahwa “Internet, E-mail dan Chat Room akan semakin penting karena generasi muda yang dibesarkan di era Internet menjadi semakin dewasa dan mewakili persentase besar pembelian oleh consumer”.
Perusahaan yang menggunakan Teknologi Informasi yang Hi-Technologi dapat dipastikan akan memposisikan dirinya sebagai pioner seperti halnya di dunia Jasa Perbankan, Telekomunikasi Selular, dan sebagainya.


1.3 Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakan masalah tersebut, penulis membatasi dan merumuskan masalah peranan teknologi informasi khusunya internet sebagai media komunikasi bisnis dalam menunjang loyalty customer sebagai berikut :
1.3.1 Bagaimana penerapan komunikasi bisnis dalam menjaga loyalty customer ?
1.3.2 Apakah unsur-unsur komunikasi efektif dalam komunikasi bisnis ?
1.3.3 Apakah penyebab kegagalan dalam komunikasi bisnis ?
1.3.4 Bagaimana peranan Teknologi Internet sebagai media Komunikasi Bisnis dalam menunjang loyalty customer ?


1.4 Tujuan Pembuatan Makalah

Sesuai dengan rumusan dan batasan masalah, tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1.4.1 Mengetahui peranan Teknologi Internet sebagai Media Komunikasi Bisnis.
1.4.2 Mengetahui pengertian dan proses Komunikasi Bisnis.
1.4.3 Mengetahui unsur-unsur komunikasi.
1.4.4 Mengetahui pengertian loyalty customer (loyalitas pelanggan)
1.4.5 Mengetahui peranan Teknologi Internet sebagai Media Komunikasi Bisnis dalam menunjang loyalty customer.


1.5 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang dipakai pada penulisan makalah ini adalah dengan metode deskriptif analisa secara literatur.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH


2.1 Pengertian Komunikasi Bisnis

Menurut ahli komunikasi, Koontz, Donnell dan Weihrich, dalam bukunya Management menegaskan bahwa “Komunikasi adalah penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima dimana informasi itu dapat dipenuhi oleh si penerima”. (Koontz et.al; 1986:168). Sedangkan menurut Devito, seorang ahli “Science of Communication” yang dikutip oleh Drs. Onong Uchjana Effendi dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” mengatakah bahwa “Komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih; yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dan gangguan-gangguan dalam suatu kontek, yang menimbulkan efek dan kesempatan untuk arus balik”. (Effendi, 1985:7)
Jika kita simpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu kegiatan menyampaikan pesan dan menerima pesan, dengan beberapa unsur yaitu kontek, sumber, penerima, pesan, saluran, distorsi atau gangguan, arus balik serta efek.
Komunikas bisnis itu sendiri meliputi pengiriman dan penerimaan pesan-pesan diantara dua orang, kelompok masyarakat, atau dalam satu lingkungan atau lebih dengan tujuan mempengaruhi perilaku di dalam suatu organisasi. (Wirasasmita; 2006:26)


2.2 Proses Komunikasi dan Unsur-Unsur Komunikasi

Menurut Drs. Onong Uchjana Effendi, menegaskan bahwa proses komunikasi terjadi atas dua tahap yaitu secara primer dan secara sekunder.
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol). Lambang-lambang (symbol) sebagai media primer dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa, isyarat, kial, gambar, warna dan sebagainya yang secara langsung mampu menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain.
Kial (gesture) dapat menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain, sehingga terekspresikan secara fisik. Sebagai contoh mengedipkan mata, mengacung-kan jempol dapat memberikan makna atau arti khusus bagi penerima. Isyarat dengan menggunakan alat seperti serine, kentongan, atau bunyi-bunyian, warna, dapat memberikan arti tertentu. Misalnya warna lampu lalu lintas.
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang media, misalnya media telepon, radio, surat, papan pengumuman dan sebagainya.
Menurut Gibson, dkk bahwa proses komunikasi ini akan melibatkan unsur-unsur pokok komunikasi seperti komunikator, pembuat sandi (encoder) penerima (komunikan), saluran (medium), pengurai sandi (decoder), penerima (komunikan), umpan balik (feed back) dan kegaduhan (noise). (Gibson , et.al., 1987 : 436)

Gambar 2.1
Model Proses Komunikasi




Medium
Pengirim
Penulisan
Sandi
Pesan
Pembacaan Sandi
Penerima







Gangguan
Umpan Balik
Tanggapan




Sumber : Management Pemasaran Kotler, 1989:239

Penjelasan Gambar 2.1

a) Komunikator (pengirim) adalah seseorang yang berusahan menyampaikan informasi atau pesan kepada orang lain.
b) Encoding (membuat sandi) adalah suatu kegiatan untuk menterjemahkan suatu gagasan atau ide kedalam serangkaian symbol yang sistematis yaitu bahasa yang menyatakan maksud komunikator.
c) Message (pesan) merupakan hasil dari proses pembuatan sandi, biasanya dalam bentuk lisan maupun tulisan.
d) Medium (jalur), merupakan alat penyampai pesan dan dengan cara bagaimana mereka melakukan komunikasi. Misalnya menggunakan media Internet, radio, telepon dan sebagainya.
e) Decoding (Menguraikan sandi) adalah suatu proses penafsiran pesan menurut pengalaman dan pengetahuan atau dengan kata sesuai kerangka acuan (frame of reference) penerima. Oleh sebab itu suatu kewajiban komunikator untuk membuat pesan yang dapat dipahami oleh penerima.
f) Komunikan (penerima) adalah orang yang menerima pesan dari komunikator yang dalam hal ini bisa atasan, bawahan, masyarakat, cutomer dan sebagainya.
g) Tanggapan merupakan serangkaian reaksi penerima setelah mendengar pesan yang diterima.
h) Feedback merupakan umpan balik dari suatu proses komunikasi yang dapat ditunjukan atau diketahui melalui prilaku tertentu dari komunikan sebagai reaksi atau tanggapan yang disampaikan oleh komunikator.
i) Noise (kegaduhan) merupakan suatu kondisi baik disebabkan oleh lingkungan luar seperti hanya suara keras atau mungkin suatu kondisi yang dialami oleh kedua belah pihak seperti keadaan bingung, gugup dan sebagainya. Pada media komunikasi telepon seringkali terjadi gangguan terutama pada line itu sendiri, sehingga pesan tidak dapat diterima dengan baik.


2.3 Pengertian Loyalitas Pelanggan (Loyalty Customer)

Memiliki pelanggan yang loyal adalah salah satu tujuan akhir dari sebuah perusahaan. Loyalitas pelanggan dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Beberapa ahli perusahaan mendefinisikan loyalitas pelanggan sebagai berikut :
Menurut Evans dan Laskin (1997:30) menyatakan bahwa “Pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang bersedia melakukan pembelian ulang (repeat purchase) dari produsen”. Pendapat tersebut didukung pula oleh Oliver mengatakan bahwa, “Customer Loyalty is a deeply held commitment to rebuys or repeatnize a preferred product or service consistenly the future, despite situational influences and marketing effort having the potential to cause switching behavior”. (Oliver ; 1997:392).
Artinya loyalitas pelanggan adalah komitmen untuk bertahan secara mendalam untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa mendatang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan prilaku.
Terdapat dua perspektif dari Loyalitas Pelanggan yaitu Perspektif Perilaku (behavioral) dan perspektif sikap (attitude). Perspektif perilaku loyalitas pelanggan dapat dilihat dari pembelian ulang dari suatu produk atau jasa secara konsisten dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Perspektif sikap (attitude) dapat ditinjau dari sikap positif terhadap brand, termasuk adanya niat untuk membeli ulang, atau merekomendasikan kepada yang lain, tentang kepuasan yang dialaminya.


2.4 Peranan Teknologi Informasi Sebagai Media Komunikasi Bisnis Dalam Menunjang Loyalty Customer

Sebagai Media Komuniasi Bisnis, Teknologi Informasi dewasa ini telah memegang peranan sangat penting sebagai sarana penyampai pesan secara efektif dan efisien. Kecanggihan teknologi informasi khususnya internet pada era Globalisasi ekonomi telah memberikan berbagai kemudahan informasi dan komunikasi tanpa batas. Sebagai contoh teknologi internet dewasa ini dapat dengan mudah diakses tanpa batas ruang dan waktu oleh berbagai Negara di dunia, hanya dengan Laptop atau Personal Computer yang terkoneksi dengan modem secara dial atau media Vsat (Personal Earth Station) ke provider atau handphone yang dapat akses melalui modem GPRS yang disediakan oleh provider, dengan speed yang cukup memadai dapat dengan mudah melakukan browsing ke situs-situs dunia yang terkenal.
Menurut Dr Erhans, dalam bukunya INTERNET mengungkapkan sejarah singkat teknologi informasi internet sebagai berikut; “ Internet pada awalnya digunakan untuk keperluan militer, yaitu pada masa perang dingin sekitar tahun 1969 dimana Departement Pertahanan Amerika Serikat membutuhkan sebuah system jaringan yang menghubungkan semua computer di daerah vital untuk mengatasi serangan nuklir. Untuk keperluan tersebut, departement pertahanan Amerika Serikat melalui DARPA (Defense Advance Research Projects Agency), bekerjasama dengan beberapa Universitas membentuk ARPANET (Advanced Research Projects Administration). Pada awalnya project ini hanya menghubungkan 3 komputer di California dan 1 komputer di Utah, namun pada perkembangan selanjutnya banyak universitas di daerah tersebut yang ingin bergabung, sehingga diputuskan untuk mengklasifikasikannya menjadi dua bagian yaitu Sistem jaringan untuk Militer dan Non Militer, gabungan keduanya disebut DARPA Internet yang akhirnya dikenal menjadi INTERNET saja. Di Indonesia sendiri Internet mulai dikenal lebih luas sekitar tahun 1995.
Perkembangan internet dewasa ini sudah beralih fungsi yaitu bukan hanya sebagai sumber informasi pendidikan dan ilmu pengetahuan, namun lebih jauh dari itu sebagai media komunikasi bisnis yang utama dalam memasarkan produk atau jasa, mendukung branding image dan sebagai sarana yang dapat dimanfaatkan customer dalam bertransaksi bisnis mereka. Seperti pada jasa perbankan adanya E-Banking yang meliputi Internet Banking, SMS Banking (mobile Banking), Phone Banking, dan ATM.
Menurut Philip Kotler, “Banyak perusahaan telah melihat peluang untuk memanfaatkan website sebagai kekuatan pendukung untuk melakukan branding terhadap perusahaan secara keseluruhan atau produk secara individual. Pengunjung situs akan memperoleh kesan akan perusahaan atau brand-nya melalui tampilan dan rasa dari situs itu”.
Selain internet, media komunikasi yang sekarang banyak dipakai diberbagai Negara adalah teknologi E-mail, yang dapat dimanfaatkan untuk transfer data secara cepat dan mudah untuk digunakan. Namun untuk komunikasi didalam perusahaan biasanya lebih banyak menggunakan intranet sebagai sarana komunikasi bisnisnya karena selain dapat diakses dengan mudah, kecepatan dalam transfer data lebih cepat ketimbang menggunakan media E-mail yang mengakses provider. Media FTP (file transfer protocol) lebih banyak digunakan untuk transfer data dalam byte yang besar di dalam internal perusahaan.
Chating room, lebih banyak digemari oleh para kaula muda, selain untuk berkenalan, dapat juga digunakan tukar-menukar informasi kebutuhan dari berbagai pihak, karena selain lebih interaktif bisa juga dilengkapi dengan media teknologi pendukung lainnya sepertihalnya WEB Cam untuk komunikasi face to face. Teknologi tatap muka jarak jauh (telecomfrient) terbukti bermanfaat untuk penyampaian pesan jarak jauh. Selain efektif (pesan dapat sampai ke tujuan), juga efisien dalam biaya, serta komunikasi bisa face to face sehingga dapat diterima oleh semua pihak secara interaktif dalam waktu yang bersamaan. Pada Teknologi Handphone dewasa ini berkembang teknologi 3G yang sama fungsinya dengan telecomfrients.
Kemajuan teknologi informasi dibidang media presentasi bisnis, banyak media yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan secara efektif, dalam sebuah acara presentasi sebagai contoh teknologi LCD Projector yang dibaurkan dengan media personal computer (LAPTOP) didukung software pendukung yang menarik seperti macromedia flash, power show, power point dan media animasi lainnya yang dilengkapi dengan sound system yang baik akan lebih menarik komunikan sehingga pesan dapat diterima dengan mudah. Para ahli komunikasi menyebut penyampaian presentasi dimasksud sebagai “MULTIMEDIA AUDIO VISUAL”.
Penggunaan Teknologi Informasi yang dilaksanakan sesuai planning akan memberikan manfaat yang luar biasa, bagi perusahaan. Pesan yang akan disampaikan oleh perusahaan sebagai sumber informasi akan lebih terarah pada maksud dan tujuan itu sendiri. Sebagai contoh pesan yang dapat diterima dengan baik adalah pesan yang dapat diserap sesuai dengan kerangka acuan (frame of reference) dari calon konsumen sebagai target penjualan.
Penerapan Teknologi Informasi sebagai media komunikasi bisnis yang tepat guna dan memiliki scurity tingkat tinggi diharapkan dapat mempertahankan loyalitas pelanggan terutama terhadap brand image perusahaan. Kemudahan penggunaan dan akurasi data yang diinformasikan secara benar akan memberikan manfaat, sehingga diharapkan dapat mendukung loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Misalnya Penerapan teknologi perbankan yang canggih terbukti, selain mendapat respon positif terhadap brand perusahaan juga memberikan kebanggaan tersendiri dari pelanggan. Jika nasabah (pelanggan) sudah merasa puas dengan layanan teknologi informasi (internet) yang diberikan, maka dapat dipastkan tujuan perusahaan dapat tercapai, sehingga kontinuitas dan laba perusahaan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya nasabah baru. Ingat bahwa kepuasan nasabah yang loyal akan memberikan referensi positif kepada rekannya yang lain.
Kompetensi perusahaan dalam mendisain teknologi informasi secara inovatif dan disain menarik akan lebih mendapatkan perhatian ketimbang yang biasa-biasa saja. Kecanggihan Teknologi informasi dengan produk atau jasa baru seharusnya berorientasi kepada need and want dari pelanggan. Perusahaan Telekomunikasi akan tetap diminati pelanggan jika didukung oleh kualitas produk (feature) yang ditawarkan kepada konsumen. Terkadang harga bukan lagi ukuran bagi pelanggan yang loyal, jauh lebih penting adalah manfaat dari teknologi informasi itu sendiri dan kebanggaan dari brand yang mereka pakai. Misalnya Produk Handphone NOKIA dengan segala Feature produk dan model yang bagus sesuai dengan slogan “NOKIA Connecting People”.


BAB III
K E S I M P U L A N


Berdasarakan hasil pembahasan masalah pada Bab 2, akhirnya penulis menyimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima. Komunikasi Bisnis meliputi pengiriman dan penerimaan pesan-pesan diantara dua orang, kelompok kecil masyarakat, atau dalam satu lingkungan atau lebih dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku di dalam suatu organisasi.

3.1 Proses Komunikasi terbagi menjadi dua yaitu :
3.2.1 Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau persaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol). Lambang-lambang (symbol) sebagai media primer dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa, isyarat, kial, gambar, warna dan sebagainya yang secara langsung mampu menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain.
3.2.2 Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh sese- orang kepada orang lain dengan menggunakan lambang media. Misalnya media Telephone, radio, surat, papan pengumuman dan sebaginya.

3.3 Unsur-unsur komunikasi bisnis yang mempengaruhi efektifitas komunikasi meliputi; komunikator, pembuat sandi (encoder) penerima (komunikan), saluran (medium), pengurai sandi (decoder), penerima (komunikan), umpan balik (feedback) dan kegaduhan (noise) atau gangguan.

3.4 Pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang bersedia melakukan pembelian ulang (repeat purchase) dari produsen. Artinya loyalitas pelanggan adalah komitmen untuk bertahan secara mendalam untuk melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa mendatang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.

Terdapat dua perspektif dari Loyalitas Pelanggan yaitu Perspektif Perilaku (behavioral) dan perspektif sikap (attitude). Perspektif perilaku loyalitas pelanggan dapat dilihat dari pembelian ulang dari suatu produk atau jasa secara konsisten dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Perspektif sikap (attitude) dapat ditinjau dari sikap positif terhadap brand, termasuk adanya niat untuk membeli ulang, atau merekomendasikan kepada yang lain, tetang kepuasan yang dialaminya.

3.4 Teknologi Informasi telah membawa perubahan yang luar biasa terhadap perilaku konsumen. Feature yang dihasilkan oleh suatu perusahaan akan turut mempengaruhi pilihan nasabah. Semakin canggih dan familiar teknologi yang diciptakan akan semakin diminati oleh customer. Loyalitas Pelanggan berawal dari adanya rasa puas terhadap layanan, produk yang dinikmati dan brand yang terkenal.

Pengaruh Komunikasi Internal

PENGARUH KOMUNIKASI INTERNAL
TERHADAP PRODUKTIVITAS

Penulis : Budi Herdiana

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan organisasi, baik dalam bentuk organisasi perusahaan yang berorientasi laba (profit), maupun organisasi kemasyarakatan (social), kerjasama para anggota organisasi di dalamnya mutlak diperlukan. Tujuan yang hendak dicapai, strategi yang hendak dijalankan, keputusan yang hendak dilaksanakan, rencana yang harus direalisasikan, serta program kerja yang harus diselenggarakan, kesemuanya itu memerlukan hubungan serta kerjasama yang harmonis baik antar personal maupun kelompok. Dengan perkataan lain bahwa setiap individu dalam organisasi perlu berhubungan dan berkomunikasi secara harmonis, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien melalui kerjasama yang erat dan iklim kerja yang harmonis
Komunikasi dalam sebuah organisasi perusahaan khususnya dan umumnya organisasi-organisasi lain, biasanya terjadi dalam dua kontek, yaitu komunikasi yang terjadi di dalam perusahaan (internal communication) dan komunikasi yang terjadi diluar perusahaan (external communication). Di dalam komunikasi internal, baik secara vertical, horizontal, maupun diagonal sering terjadi kesulitan yang menyebabkan terjadinya ketidaklancaran komunikasi atau dengan kata lain terjadi miss komunikasi. Kesulitan ini terjadi dikarenakan adanya kesalahpahaman, adanya sifat psikologis seperti egois, kurangnya keterbukaan antar pegawai, adanya perasaan tertekan dan sebagainya, sehingga menyebabkan komunikasi tidak efektif dan pada akhirnya tujuan organisasi pun sulit untuk dicapai .
Menurut Oemi Abdurachman,MA dalam bukunya “Public Relations”, menjelaskan kesulitan komunikasi sebagai berikut :
“Komunikasi yang dilaksanakan oleh pimpinan terhadap bawahan (downward communication) tidak banyak meng-alami kesulitan; teapi sebaliknya komunikasi yang berjalan ke atas (upward communication) besar kemungkinan akan mengalami hambatan, demikian pula dalam komunikasi antar kolega (horizontal communi-cation) dapat timbul kesulitan yang dikarenakan misalnya setiap anggota merasa tugasnya lebih penting atau merasa profesinya lebih tinggi.” (Abdurachman, 1971 : 34)

Dengan adanya kesulitan-kesulitan atau masalah-masalah dalam komunikasi internal tersebut, yang disebabkan oleh adanya kesalahpahaman, kurangnya keterbukaan, adanya tekanan-tekanan yang dirasakan oleh para anggota organisasi menyebabkan komunikasi dua arah (two way communication) menjadi terhambat dan dirasakan tidak harmonis . Ketidak harmonisan komunikasi ini, dapat menimbulkan terjadinya hubungan kerja yang kurang baik, dan apabila hal ini dibiarkan akan menimbulkan implikasi yang kurang baik terhadap gairah kerja, motivasi kerja, konsentrasi kerja, dan pada akhirnya akan membawa dampak negatif terhadap produktivitas kerjanya .
Drs. Muchdarsyah Sinungan dalam bukunya,”Produtivitas Apa dan Bagaimana”, menjelaskan bahwa salah satu syarat kerja produktif adalah kondisi kerja yang manusiawi dan hubungan kerja yang harmonis . (Sinungan, 1992 : 3)
Lebih jauh lagi, adanya komunikasi yang tidak lancar atau tidak harmonis dapat mengakibatkan tindakan yang lebih parah dari para pekerja, seperti halnya banyak terjadi pemogokan dan aksi demonstrasi akibat tidak adanya tanggapan yang berarti dari para atasan mengenai tuntutannya .
Berdasarkan suatu artikel yang ditulis oleh Miranty Abidin dengan judul “Kata Kunci PR”, menyatakan bahwa kesenjangan komunikasi akan menyebabkan pemogokan karyawan. (Miranty, 1992 : 61) sebaliknya jika komunikasi internal dapat dilaksanakan secara efektif, sehingga menciptakan hubungan yang harmonis, penuh pengertian, dukungan positif, sehingga mereka akan bekerja dengan lebih produktif, bersemangat, dan moralitas yang tinggi . (Miranty, 1992 : 62)


1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan, ternyata komunikasi mutlak memegang peranan yang penting dalam suatu organisasi. Tanpa komunikasi yang harmonis dan efektif, perusahaan tidak akan dapat mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya Chester I Bernard menaruh komunikasi sebagai unsur yang pertama dari segenap organisasi. (Lian Gie, 1968 : 86)
Komunikasi yang efektif, memungkinkan terciptanya hubungan kerja yang harmonis antara sesama anggota organisasi, sehingga kerjasama yang erat didukung dengan rasa pengertian dan keterbukaan akan meningkatkan gairah kerja dan motivasi kerja yang tinggi, dan pada akhirnya produktivitasnya pun diharapkan akan meningkat.
Selain hubungan antara personal yang harmonis, produktivitas kerja dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang lainnya seperti; besarnya pendapatan dan jaminan sosial, tingkat pendidikan dan latihan, disiplin moral dan etika, motivasi, kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, management, sarana produksi, kesempatan berprestasi, kepuasan, teknologi dan kebijaksanaan pemerintah . (Komaruddin, 1986 : 112)
Mengingat luasnya bidang garapan dalam kajian komunikasi dan produktivitas, dan agar pembahasan dalam penelitian ini lebih mendalam, maka penulis membatasi masalah pokok ini pada kajian komunikasi internal sebagai variable stimulus serta pengaruhnya terhadap produktivitas kerja sebagai variable terikat .
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab melalui rangkaian kajian ini adalah : Bagaimana pengaruh komunikasi bisnis terhadap produktivitas kerja karyawan di perusahaan tersebut ?


Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran

Seperti yang telah dikemukakan di atas, komunikasi merupakan unsur utama dalam setiap organisasi. Tanpa komunikasi yang efektif baik secara verbal maupun nonverbal tidak akan terjadi hubungan dan kerjasama yang saling pengertian, sehingga tujuan organisasi pun tidak akan tercapai. Komunikasi itu sendiri merupakan suatu proses penyampaian informasi atau warta yang mengandung macam-macam keterangan dari seseorang kepada orang lain . ( The Lian Gie, 1968 : 79) .
Dalam komunikasi terjadi penyalinan informasi secara cermat mengenai gagasan seseorang kedalam pikiran orang lain sehingga tercapai pengertian yang diperlukan atau menimbulkan tindakan yang diharapkan .
Menurut Devito, seorang ahli “Science of Communication” menjelaskan pengertian komunikasi sebagai berikut :
“Komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih ; yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapatkan distorsi dan gangguan-gangguan dalam suatu kontek, yang menimbulkan efek dan kesempatan untuk arus balik .” (Effendy, 1985 : 7)
Jika kita simpulkan pengertian di atas, komunikasi merupakan suatu kegiatam menyampaikan pesan dan mengandung beberapa unsur yaitu kontek, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan atau distorsi, penyampaian proses encoding, proses decoding, arus balik serta efek . Namun walau demikian secara teknis dapat dikatakan bahwa proses komunikasi melibatkan :
a. Komunikator,
b. Pesan yang hendak disampaikan,
c. Saluran komunikasi,
d. Media komunikasi,
e. Komunikatee,
f. Lingkunagn Komunikasi .
(Siagian, 1982 : 122)
Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi (internal communication) terutama dalam upaya penyampaian pesan, ide, gagasan, serta informasi lebih baik berupa perintah, larangan, pelimpahan wewenang, pemberian intruksi, nasihat, kebijaksanaan, tindakan pendisiplinan, program kerja, dan sebagainya harus diusahakan berjalan dengan efektif .
Komunikasi yang efektif dapat dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1. Kerangka Acuan (frame of reference)
Wilburn Schram, dalam karyanya “ Communication Research in the United States”, yang disadur oleh Onong Uchjan Effendy menyatakan sebagai berikut :
“komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh komunikan .”(Effendy, 1985 : 18).
Jadi jelas bahwa frame of reference yang didukung field of experience merupakan factor yang penting dalam berkomunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator dan pengetahuannya sesuai dengan komunikan, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar .

2. Faktor Situasi dan Kondisi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah situasi komunikasi pada saat komunikan menerima pesan yang kita sampaikan . Situasi ini akan mendukung komunikasi efektif apabila komunikator menyampaikan informasi pada saat komunikan menanti suatu pengumuman .
Begitu pula dengan kondisi, akan mempengaruhi serta mendukung efektivitas komunikasi . Seperti kondisi gaduh (noise), yang disebabka lingkunag luar, kondisi gugup yang diderita seorang komunikator dalam menyampaikan pesannya akan turut menentukan keberhasilan jalannya proses komunikasi .

3. Faktor Media Komunikasi
Media komunikasi merupakan alat untuk membantu lancarnya proses komunikasi . Yang dimaksud media disini adalah surat, memo, nota, brosur, pamphlet, bulletin, majalah, Koran, papan pengumuman, kotak saran, telephone, radio, televisi dan sebagainya . Pada saat ini telah dan sedang berkembang telemobitel, faksimil, telepon genggam, internet, e-mail dan sebagainya yang membantu lancarnya dan semakin efektifnya pesan yang dapat disampaikan lewat media tersebut.
Raymond V.L (1977), dalam bukunya “ A General Sematics Approach to Communication Barries”, mengatakan bahwa terdapat empat factor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi yaitu :
a. Jalur komunikasi formal,
b. Authority structure,
c. Spesialisasi pekerjaan,
d. Ownership information .
(Ratih, 2 Juni, 1993)
Selain faktor-faktor tersebut, komunikasi yang efektif dapat pula dipengaruhi oleh semua unsure-unsur komunikasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Sumber – Encoder
a. Keterampilan berkomunikasi,
b. Sikap,
c. Tingkat pengetahuan,
d. Posisi dalam sistem sosial budaya .
2. Penerima – Decoder
3. Pesan
a. Kode pesan
b. Isi pesan
c. Wujud pesan
4. Saluran komunikasi
(Hanafi, 1984 : 173-213)
Menurut Geoffrey Mills dan Oliver Standingford, terdapat empat asas pokok dalam komunikasi yakni sebagai berikut :
1. Komunikasi berlangsung antar pikiran seseorang dengan pikiran orang lain .
2. Orang hanya bias mengerti sesuatu hal dengan menghubungkan dengan sesuatu hal yang lain yang telah dimengerti .
3. Orang yang melakukan komunikasi mempunyai suatu kewajiban untuk membuat dirinya dimengerti .
4. Orang yang tidak dimengerti dalam menerima warta mempunyai suatu kewajiban untuk enerima suatu penjelasan .
(The Lian Gie, 1988:87)
Demikianlah beberapa faktor yang dapat membantu komunikasi berjalan dengan lancer dan efektif . Dengan komunikasi yang efektif akan menciptakan hubungan kerja yang harmonis, penuh keterbukaan sehingga diharapkan perusahaan mendapatkan feed back dalam bentuk dukungan dari karyawan, melalui kerja yang produktif, bersemangat, dan dengan moralitas yang tinggi .
Gairah kerja yang ditimbulkan dengan adanya komunikasi yang efektif akan mendukung motivasi dan aspirasi karyawan untuk bekerja lebih giat sehingga produktivitas kerja dapat tercapai .
Komunikasi yang harmonis akan menciptakan integritas yang baik . Melalui hubungan yang didorong oleh rasa pengertian, keterbukaan dan rasa memiliki serta kebersamaan telah terbukti dapat menciptakan kegairahan dalam bekerja, dan diharapkan inipun akan membawa pada implikasi yang positif terhadap produktivitas kerjanya secara keseluruhan .
Berdasarkan suatu hasil penelitian mengenai pengaruh komunikasi terhadap produktivitas, telah menunjukkan adanya korelasi yang positif . Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Herbert G. Hicks dan G. Ray Gullet sebagai berikut :
“Suatu penelitian terhadap 27 cabang dari suatu organisasi pengepakan dan pengiriman diadakan untuk menentukan mengapa cabang-cabang telah mengalami suatu variasi yang luas di bidang produktivitas . Untuk maksud ini data-data dikumpulkan oleh suatu survey terhadap 975 karyawan pada berbagai cabang perusahaan tersebut . Taktala data-data produktivitas dan komunikasi dibandingkan, hal tersebut disimpulkan bahwa prestasi yang tinggi pada berbagai cabang korelasinya cenderung positif dengan melalui ker\terbukaan jalur-jalur komunikasi diantara atasan dengan bawahan .” (Hicks and Gullet, 1987 : 526)
Menurut Prof. DR Sondang P. Siagian, produktivitas adalah :
“Kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan luaran (output) yang optimal bahkan kalau mungkin maksimal .”(Siagian, 1982 : 154)
Menurut doktrin pada konfrensi Oslo (1984), mengatakan bahwa :
“Produktivitas adalah suatu konsep yang bersifat universal yang bertujuan untuk menyediakan lebih banyak barang dan jasa untuk lebih banyak menusia dengan menggunakan sumber-sumber riil yang makin sedikit .
Produktivitas adalah suatu pendekatan intrdisipliner untuk menentukan tujuan yang efektif, pembetulan rencana, aplikasi penggunaan cara yang produktif untuk menggunakan sumber-sumber secara efisien dan tetap menjga adanya kualitas yang tinggi .” (Sinungan, 1992 : 17)
Sinungan (1992 : 18) menyatakan bahwa produktivitas merupakan interaksi terpadu antara tiga faktor yang mendasar, yaitu investasi, manajemen dan tenaga kerja.

1. Investasi
Komponen pokok dari investasi adalah metode yang didukung oleh teknologi . Dengan teknologi yang tinggi aka cepat membawa pada kemajuan organisasi perusahaan . Sebagai contoh jika kita direalisasikan dengan penggunaan media komunikasi dan informasi seperti telepon, radio, TV, handphone, Internet, akan membawa pada system atau mekanisme kerja yang cepat.

2. Manajemen
Kelompok manajemen dalam organisasi, tugas pokoknya menggerakan orang-orang untuk bekerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan . Melalui komunikasi yang harmonis, penuh keterbukaan serta dukungan dan motivasi serta moralitas yang tinggi akan mempercepat hasil atau tujuan yang ingin dicapai.

3. Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan sumber daya manusia yang turut mendukung operasi perusahaan dalam mencapai sasaran, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan . Perlu diperhatikan unsur-unsur yang mendukung atau mempengaruhi dan menjadi syarat kerja yang produktif yaitu kemampuan kerja yang tingi, lingkungan kerja yang nyaman, penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum, jaminan sosial yang memadai, kondisi kerja yang manusiawi den hubungan kerja yang harmonis .
(Sinungan, 1992 : 3)
Itulah sebabnya hubungan kerja yang harmonis perlu dipertahankan dan kalau mungkin dapat ditambah . Setiap kerja, usaha dan kegiatan lain mutlak memerlukan komunikasi baik secara personal maupun kelmpok di dalam organisasi .


Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh komunikasi bisnis terhadap produktivitas kerja karyawan di suatu perusahaan .
Manfaat atau kegunaan yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini meliputi kegunaan praktis dan kegunaan yang bersifat teoritis .

a. Kegunaan praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan informasi terutama dalam mengantisipasi segala permasalahan yang terjadi di dalam komunikasi . Selain itu diharapkan pula hasil penelitian ini memberikan jalan keluar atau suatu solusi dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja melalui jalur komunikasi internal yang harmonis, dengan cara-cara yang mudah di aplikasikan .
b. Kegunaan teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian lebih lanjut, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan pengetahuan dan ilmu mengenai komunikasi internal yang sekarang sedang berkembang dan menjadi topic yang ramai dalam setiap seminar mengenai public relations.


Asumsi

Pengertian asumsi menurut Drs. Komaruddin adalah sebagai berikut :
“Sesuatu yang dianggap tidak mempengaruhi atau dianggap konstan . Asumsi menetapkan faktor-faktor yang diawasi . Asumsi dapat berhubungan dengan syarat- syarat, kondisi-kondisi dan tujuan . Asumsi memberi hakekat, bentuk dan arah argumentasi .”
(Komaruddin, 1982 : 22)
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis memberikan asumsi dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Komunikasi merupakan faktor pertama dalam setiap organisasi yang dapat mengantarkan kearah pencapaian misi, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan .
2. Komunikasi internal yang efektif didukung oleh unsur-unsur komunikasi seperti ; media komunikasi, keterampilanseorang komunikator dalam menyampaikan pesan, kesamaan kerangka referen antara komunikator antara komunikator dengan komunikan, faktor kondisi dan situasi, sikap saling pengertian dan penuh keterbukaan dalam komunikasi .
3. Bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan adalah keberhasilan menciptakan komunikasi internal yang efektif dan harmonis dengan realisasi hubungan yang terbuka dan penuh pengertian .


Hipotesa

Pengertian hipotesa menurut Drs. Komaruddin adalah sebagai berikut :
“Hipotesa adalah kesimpulan atau perkiraan yang tajam dan cermat yang dirumuskan dan untuk sementara untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan, peristiwa-peristiwa atau kondisi-kondisi yang diperhatikan dan untuk membimbing penyelidikan lebih lanjut . Jawban sementara terhadap suatu masalah .”
(Komaruddin, 1982 : 36)
Hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian . Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh dari pengumpulan data . (Sugiono,1992 : 38)
Hipotesis penulis adalah :
- “Terdapat hubungan linier positif signifikan antara komunikasi internal dengan produktivitas kerja karyawan di perusahaan .”
- “Bahwa Komunikasi internal memberikan kontribusi yang berarti terhadap produktivitas di perusahaan .”


Definisi dan Variabel

a. Komunikasi internal adalah proses prtukaran gagasan diantara para administrator dan karyawan dalam suatu perusahaan atau jawatan yang menyebabkan terwujudnya perusahaan atau jawatan tersebut lengkap dengan struktur yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertical di dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan pekerjaan berlangsung . (Effendy, 1985 : 155)
b. Produktivitas adalah kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari saran dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan luarab (output) yang optimal bahkan mungkin maksimal . (Siagian, 1982 : 154)
c. Kerja adalah keseluruhan pelaksanaan aktivitas jasmani dan rohani yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu .
d. Karyawan/pegawai adalah orang-orang yang bekerja pada suatu organisasi, baik instansi pemerintah atau perusahaan –perusahaan atau pada usaha-usaha sosial dengan mana ia memperoleh imbalan jasa tertentu . (Musanef, 1991 : 5)

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH


2.1 Pengertian Komunikasi

Dalam setiap organisasi, komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Komunikasi merupakan unsur pertama dalam berbisnis. Murphy dan Peck dalam menyoroti masalah komunikasi, menegaskan bahwa “komunikasi merupakan darh sebagai suatu sumber kehidupan bagi setiap organisasi dan merupakan suatu kunci sukses dalam karir bisnis dan kehidupan pribadi.”. Lebih tegas dikatakan bahwa komunikasi itu sangat penting, sehingga apabila tidak ada komunikasi maka organisasi itu tidak akan berfungsi . (Buchari Alma, 1987 : 190)
Meskipun kita tahu arti penting komunikasi, namun bagaimanapun masih diragukan apakah setiap orang menyadari dengan sungguh-sungguh arti atau makna dari komunikasi yang baik . Oleh sebab itu, penulis akan menguraikan pengertian dan beberapa definisi komunikasi menurut para ahli sebagai berikut :
Menurut Koontz, Donnell dan Weihrich, dalam bukunya “Management” menegaskan bahwa :
“Komunikasi adalah penyampaian informasi dari pengirim kepada penerima dimana informasi itu dapat dipahami oleh si penerima.” (Koontz et.al., 1986 : 168)
Pengertian tersebut mengandung arti yang luas dan bersifat umum, hal ini dapat bermakna bahwa komunikasi ini hanya sekedar penyampaian informasi saja dari seorang komunikator terhadap komunikan .
Lebih jelas lagi, menurut P Grassman adalh sebagai berikut :
“ komunikasi merupakan sebuah proses yang berkelanjutan dimana seorang individu melalui bantuan symbol-simbol verbal atau nonverbal memberikan informasi kepada individu lain, yang menerima informasi tersebut dan kemudian menerjemah- kannya dalam bentuk perilaku tertentu .” (Winardi, 1990 : 513)


2.2 Komunikasi Internal

Dalam upaya menyampaikan pesan, ide, gagasan serta informasi lainnya dapat terjadi dalam kontek secara vertical, horizontal, maupun secara diagonal di dalam suatu organisasi . Hal itu menunjukan terjadinya komunikasi di dalam organisasi (Internal Communication) .
Jika kita simpulkan ternyata komunikasi internal ini hanya merupakan suatu pertukaran informasi didalam organisasi baik dalam kontek secara vertical maupun secara horizontal . Gibson, Ivancevid, Dannely (1987 : 440) menambah satu kontek lagi dalam komunikasi internal itu yakni komunikasi diagonal .
Meskipun komunikasi internal ini terjadi dalam tiga kontek seperti yang telah disebutkan diatas, komunikasi internalpun dapat berlangsung secara interpersonal dan secara kelompok .

2.2.1 Komunikasi Vertikal
Komunikasi vertical adalah komunikasi yang dilancarkan dari atas ke bawah (downward communication) dan sebaliknya dari bawah ke atas (upward communication) atau dengan kata lain komunikasi yang dilancarkan oleh pihak atasan kepada bawahan atau sebalknya dari bawahan kepada atasan (two way traffic communication) .
Karena komunikasi menyangkut masalah hubungan manusia dengan manusia, maka suksesnya komunikasi tergantung pada frame of reference manusia-manusia yang terlibat di dalamnya .

2.2.2 Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal adalah komunikasi yang dilakukan secara mendatar antara anggota staf dengan anggota staf, karyawan dengan karyawan dan sebagainya . Untuk memecahkan masalah yang timbul akibat proses komunikasi dengan jalur seperti itu adalah tugas Public Relation Officer ( Kepala Hubungan Masyarakat) .
Antara komunikasi vertical dengan komunikasi horizontal terkadang terjadi komunikasi diagonal .

2.2.3 Komunikasi Diagonal
Komunikasi diagonal adalah komunikasi antar pimpinan antara pimpinan seksi dengan pegawai seksi lain . Seperti kita ketahui bahwa komunikasi internal ini bukan saja terjadi dalam tiga kontek seperti yang telah dijelaskan dimuka, melainkan dapat pula terjadi secara personal (personal communication) dan secara kelompok (group communication) .
Komunikasi persona
Komunikasi persona adalah komunikasi antar dua orang yang dapat berlangsung secara tatap muka (face to face communication) dan komunikasi bermedia (mediated communication) .
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan komunikasi persona tatap muka adalah sebagai berikut :
- Bersikaplah empati dan simpati
- Tunjukanlah sebagai komunikator terpercaya
- Bertindaklah sebagai pembimbing, bukan pendorong
- Kemukakanlah fakta dan kebenaran
- Bercakaplah dengan gaya mengajak, bukan menyuruh
- Jangan bersikap super
- Jangan mengkritik
- Jangan emosional dan bicaralah secara meyakinkan .
Komunikasi kelompok (group communication)
Komunikasi kelompok adalah komunikasi antar seseorang dengan sekelompok orang dalam situasi tatap muka .
Komunikasi kelompok kecil (small group communication)
Komunikasi ini adalah komunikasi antara manajer atatu seorang administrator dengan sekelompok karyawan yang memungkinkan terdapatnya kesempatan bagi salah seorang untuk memberikan tanggapan secara verbal .
Komunikasi kelompok besar
Komunikasi ini adalah kelompok komunikasi yang karena jumlahnya banyak, dalam situasi komunikasi hamper tidak terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal .


Proses Komunikasi

Menurut Drs. Onong Uchjana Effendy dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” (1985), menegaskan bahwa pada dasarnya proses komunikasi terjadi atas dua tahap yaitu secara primer dan sekunder .
Proses komunikasi secar primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) . Misalnya berupa bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan sebagainya .
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang media . Misalnya dengan menggunakan media telepon, radio, surat, papan pengumuman dan sebagainya .


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi

Untuk memahami factor-faktor yang mempengaruhi efektivita komunikasi, menurut Drs. Abdillah Hanafi dalam bukunya “Memahami Komunikasi Antara Manusia”, menegaskan perlunya memperhatikan dan mengenal kesemua unsure dalam proses komunikasi, yang antara lain ; Sumber – Encoder, Pesan, Saluran (media), decoder dan penerima .


Faktor-faktor yang Menghambat Efektivitas Komunikasi

Menurut Prof. Drs. Sondang P. Siagian, faktor-faktor yang menghambat efektivitas komunikasi di dalam organisasi adalah meliputi dua hal yang pokok yaitu :
Penghambat yang bersifat teknis
- Kurangnya saran dan prasarana yang memadai .
- Penguasaan tentang teknik dan metode komunikasi yang kurang memadai .
- Kondisi fisik yang tidak memungkinkan komunikasi yang berjalan secara efektif .
Penghambat yang bersifat perilaku
- Pandangan yang bersifat apriori .
- Prasangka yang didasarkan pada emosi .
- Suasana otoriter .
- Ketidakmauan untuk berubah .
- Sifat yang ego – sentris .
( Siagian, 1982 : 132-133 )


Pengertian Produktivitas

Dra. Yayat Hayati, MPd . Mengatakan bahwa :
“Produktivitas pada dasarnya mencakup sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini . Cara kerja hari ini harus lebih baik dari cara kemarin dan hasil yang dicapai besok harus lebih banyak dari hasil yang diperoleh hari ini .” (Yayat Hayati, 1994 : 12)


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penurunan tingkat pertumbuhan produktivitas :
Berkurangnya intensitas modal
Berkurangnya pembiayaan untuk kergiatan riset dan pengembangan
Perubahan komposisi angkatan kerja
Perubahan dalam nilai dan sikap sosial
Menurut Dra. Yayat Hayati, Mpd . Produktivitas dipengaruhi oleh dua komponen yang bersifat teknologi dan komponen yang berupa employee job performance .

Peningkatan Produktivitas

Dalam menyoroti masalah peningkatan produktivitas menurut A. Dale Timpe, dalam bukunya “Produktivitas Seri Ilmu dan Seri Manajemen Bisnis” (1992 : 106-119), mengatakan bahwa terdapat tujuh kunci peningkatan produktivitas sebagai berikut :
Keahlian manajemen yang bertanggung jawab
Kepemimpinan yang luar biasa
Kesederhanaan organisasi dan operasional
Kepegawaian yang efektif
Tugas yang menantang
Perencanaan dan pengendalian
Pelatihan dan manajemen khusus


Pengukuran Produktivitas

Menurut Muchdarsyah Sinungan, bahwa terdapat dua cara dalam mengukur produktivitas yaitu :

Total Produktivitas

TP = ____Hasil total___
Masukan total

Produktivitas Persial

PP = ____Hasil persial___
Masukan total

Produktivitas perusahaan dapat dicari dengan rumus :

Pt =________Qt________
L+C+R+Q
Dimana :
Qt = Output
Pt = Produktivitas total
L = Faktor masukan tenaga kerja
C = Faktor masukan modal
R = Bahan mentah
Q = Faktor masukan barang dan jasa yang beraneka macam




Pengaruh Komunikasi Internal Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan

Komunikasi di dalam suatu organisasi merupakan suatu darah sebagai sumber kehidupan bagi segenap organisasi, sehingga bila tidak ada komunikasi maka organisasi tak akan berjalan atau berfungsi .
Miranty Abidin, (1992 : 61) berpendapat bahwa dengan adanya kesenjangan komunikasi akan menyebabkan pemogokan karyawan . Dengan adanya pemogokan maka sekaligus akan membawa dampak langsung terhadap produktivitas kerja secara keseluruhan .

BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Komunikasi yang efektif akan menciptakan hubungan kerja yang harmonis diantara sesama anggota organisasi,
Produktifitas kerja dipengaruhi oleh hubungan kerja harmonis, besarnya pendapatan dan jaminan social, tingkat pendidikan dan latihan, disiplin moral dan etika, motivasi, kesehatan, lingkungan dan iklim kerja, manajemen, sarana produksi , kesempatan, kepuasan, teknologi dan kebijaksanaan pemerintah.
Komunikasi merupakan unsure utama dalam setiap organisasi
Komunikasi yang terjadi di dalam organisasi (internal communication) terutama dalam penyampaian pesan, ide, gagasan, serta informasi baik berupa perintah, larangan, pelimpahan wewenang, pemberian instruksi, nasihat, kebijaksanaan, tindakan kedisiplinan, program kerja dan sebagainya harus diusahakan berjalan dengan efektif.
Keberhasilan menciptakan komunikasi internal yang efektif dan harmonis dengan realisasi hubungan yang terbuka dan penuh pengertian akan memberikan peningkatan produktivitas kerja karyawan.